Nukilan.id – Langit yang awalnya cerah tiba-tiba diselimuti gumpalan awan hitam saat tim Gampong Film berangkat menuju Pulau Breuh menggunakan perahu, Selasa (15/10/2024). Para penumpang yang tadinya berada di pinggir perahu, mulai merapat ke tengah, menghindar dari cipratan ombak yang pecah.
Sebagian tim Gampong Film yang duduk di bagian belakang perahu mengambil beberapa plastik berukuran besar untuk menutup diri dari pecahan ombak. Fauzi, salah satu tim Gampong Film bergegas menutup beberapa alat pemutaran film yang berada di depan dek perahu. Hujan mulai turun. Perahu ini masih harus menyeberang satu setengah jam lagi.
Ada lima orang tim Gampong Film dan ditambah Eileena dari Anti Corruption Film Festival (ACFFEST) yang ikut berangkat ke Pulau Breuh. Ketika arus Lampuyang, Pulo Aceh terlihat dengan mata, hujan mulai berhenti. Tim tiba di Pulau Breuh sekitar pukul 16.00 WIB, lantas melanjutkan perjalanan menuju ke penginapan.
***
Pulau Breuh adalah salah satu pulau yang berada di barat laut Pulau Sumatera yang menawarkan keindahan alam yang menakjubkan. Tidak seperti Pulau Sabang, pulau ini tidak banyak didatangi turis. Akses menuju Pulau Breuh hanya mengunakan perahu penumpang yang berangkat antara pukul 13.00-14.00 WIB setiap hari, kecuali hari Jumat. Meskipun aksesnya lebih dekat dari Banda Aceh, secara admintrasif Pulau Breuh masuk wilayah Aceh Besar.
Pulau Breuh menjadi titik terakhir dari rangkaian tur pemutaran Gampong Film yang diputar di halaman Sekolah Dasar (SD) Gampong Meulingge, Mukim Pulau Breuh Utara, Kecamatan Pulo Aceh, Rabu (16/10/2024). Ada tiga titik lain yang disinggahi Gampong Film tahun ini, yaitu di Iboih (Sabang), Deah Glumpang (Banda Aceh), dan Lamteuba (Aceh Besar).
Gampong Film pertama kali diselenggarakan oleh Yayasan Aceh Documentary (Adoc) pada tahun 2015. Sejak saat itu, Adoc terus menghadirkan sinema ke kampung-kampung pedalaman di Aceh. Hingga saat ini, Gampong Film telah menjadi program utama dari Aceh Film Festival (AFF) yang juga dikelola oleh Adoc.
“Selama melaksanakan Gampong Film, kami selalu menemukan para tetua yang memiliki pengalaman menonton layar tancap, yang mana hal itu sudah jarang ada di Aceh. Saya rasa Gampong Film ini penting sebagai ruang menikmati sinema di Aceh,” ujar Direktur AFF, Jamaluddin Phonna kepada Nukilan, Rabu (16/10/2024). Pada perhelatan tahun ini, AFF bekerja sama dengan ACFFEST serta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
“Saya pikir kerja sama ini cukup menarik. Kami menganggapnya sebagai respons atas banyaknya pemberitaan tentang korupsi di kampung-kampung oleh kepala desa. Jadi juga bisa dilihat untuk menyampaikan pesan anti korupsi. Tema Gampong Film kali ini juga cukup jelas, “Tulak Korupsi dari Gampong”,” kata Jamal.
Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye AntiKorupsi KPK, Medio Venda mengatakan medium film lebih mudah untuk diterima oleh masyarakat luas. Dia berharap penayangan film-film ini tidak hanya menjadi hiburan semata, namun juga mampu menumbuhkan kepedulian terhadap isu korupsi dan memperkuat sikap antikorupsi di berbagai level masyarakat.
Tim Gampong Film telah memilih enam film dari yang disediakan oleh pihak ACFFEST, di antaranya, Kurang 2 Ons, Persenan, Titip Sandal, Jastip, Unbaedah, Hitler Mati di Surabaya.
Programmer Gampong Film, Akbar Rafsanjani menuturkan film-film tersebut dipilih karena ceritanya universal dan cocok bagi masyarakat Aceh.
“Semuanya memberi pelajaran dampak buruk dari korupsi. Film-film itu juga akan diputar berbarengan dengan film-film dari Aceh,” ujar Akbar.
***
Tim Gampong Film menginap di Gampong Gugop, Pulo Aceh. Tidak banyak penginapan di Pulo Aceh. Bahkan di beberapa desa di Pulau Breuh belum memiliki sinyal internet, termasuk di Meulingge, tempat pemutaran film. Dari Gampong Gugop ke Meulingge memakan waktu sekitar 40-50 menit. Tim tiba di Gampong Meulingge sebelum azan asar, lantas bergegas membentangkan layar dan mempersiapkan peralatan lain untuk pemutaran yang dibantu beberapa warga.
Pukul 20.30 WIB, acara pemutaran dilakukan. Tak lama berselang, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Padahal sejak seharian cuaca cerah dan taka da tanda-tanda akan turun hujan. Tim Gampong Film yang dibantu warga berusahan menyelamatkan proyektor dari siraman hujan dan menutup loudspeaker dengan plastik.
“Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan Adik-adik, pemutaran tetap akan kita lanjutkan. Kita tunggu hujan reda ya,” seru Zikra, pembawa acara. Penonton masih memadati beranda kelas SD Meulingge. Pemutaran film baru dimulai sekitar pukul 22.00 WIB ketika hujan reda.
“Semoga film-film yang akan kami putar bisa menghibur warga Gampong Meulingge khususnya dan seluruh warga Pulau Breuh yang telah hadir ke tempat ini. Nanti juga, kami akan memutar film yang lokasi shooting-nya di Pulo Aceh,” ujar Jamal dalam sambutannya.
Film pertama yang diputar adalah film Titip Sendal, bercerita tentang antrian vaksin di sebuah kampung terapung. Para ibu-ibu menitip sandal kepada teman dan anak mereka yang bekerja sebagai petugas kesehatan. Konflik dalam film bermula dari sana hingga menyebabkan lantai kayu kampung tersebut roboh, membuat para ibu-ibu yang bertengkar jatuh ke dalam air.
Film selanjutnya, Jastip (Jasa Tipu-tipu), bercerita tentang dua anak muda yang menjual madu di media sosial. Usaha mereka kemudian dilirik oleh seorang politisi yang ingin memberikan modal untuk usaha mereka. Namun, salah satu dari mereka menolak walau akhirnya mereka menerimanya. Wajah politisi terpampang di botol madu usaha mereka. Lalu, karena pasokan madunya tidak cukup, mereka mengolah madu tersebut. Madu yang dijual bukan lagi madu asli, melainkan hasil olahan.
“Meskipun film yang diputar tidak menjelaskan secara jelas tentang korupsi dalam praktik yang sering kita lihat di TV, seperti korupsi uang, ini adalah bentuk lain dari korupsi, jadi korupsi bukan hanya soal uang. Bahkan soal antrian juga termasuk. Saya rasa ini penting dikampanyekan,” ujar Fahmi, salah seorang aktivis sosial dan lingkungan yang menjadi pembicara dalam diskusi film tersebut.
Film terakhir adalah Pulo Rempah. Film yang bersetting di Pulau Breuh ini menceritakan tentang seorang anak kecil yang tinggal di kota, lalu pulang ke kampung halamannya. Di kampungnya dia mendapatkan pelajaran dan sejarah tentang Pulau Breuh. Film ini banyak membuat penonton tertawa geli karena akting beberapa aktor yang mereka kenal.
Kepala Desa Meulingge, Muhammad Dahlan mengatakan kegiatan pemutaran film seperti ini penting untuk terus dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang korupsi kepada masyarakat.
“Yang paling penting adalah soal korupsi dan keterbukaan dalam mengelola kampung,” ujarnya. ***
Reporter: Sammy