Menilik Revisi UU Polri: Indonesia Menuju Negara Polisi?

Share

NUKILAN.id | Opini – Dalam demokrasi modern, peran kepolisian sebagai penjaga keamanan dan penegak hukum adalah vital. Polisi menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak warga negara dan menjaga ketertiban umum. Namun, ada kekhawatiran yang muncul ketika peran kepolisian mulai melebar dan berpotensi melampaui batasan-batasan yang semestinya ada dalam sebuah negara demokrasi. Kekhawatiran ini semakin nyata dengan adanya revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang memberikan kewenangan lebih besar kepada polisi, termasuk hak untuk menyadap komunikasi di luar kerangka hukum yang jelas.

Indonesia, sebagai negara yang pernah berada di bawah bayang-bayang otoritarianisme, memiliki sejarah panjang tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara. Ketika kepolisian diberi kekuasaan yang berlebihan, tidak hanya mencemaskan dari sisi hukum, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Ini adalah sinyal yang harus diperhatikan dengan serius oleh semua pihak yang peduli dengan masa depan demokrasi di Indonesia.

Sejarah mengajarkan bahwa ketika polisi berfungsi melampaui batas-batas kewenangannya, mereka dapat menjadi instrumen kekuasaan yang digunakan untuk membungkam suara-suara kritis. Pada masa Orde Baru, misalnya, fungsi kepolisian dan militer disatukan di bawah satu payung kekuasaan, yang kemudian menjadikan polisi sebagai alat politik untuk menekan oposisi dan menjaga stabilitas dengan cara-cara yang represif. Reformasi 1998 mencoba memisahkan kedua fungsi ini, menempatkan polisi sebagai institusi yang berfokus pada keamanan dalam negeri, sementara militer menjaga pertahanan negara dari ancaman luar.

Namun, perkembangan yang terlihat dalam revisi Undang-Undang Polri ini mengindikasikan adanya upaya untuk mengembalikan fungsi-fungsi lama yang mengancam supremasi sipil. Pasal-pasal dalam revisi tersebut mengusulkan pemberian kewenangan kepada polisi untuk melakukan penyadapan dan penggalangan intelijen yang lebih luas, bahkan memutus akses internet terhadap individu atau kelompok yang dianggap membahayakan. Ini jelas menimbulkan kekhawatiran bahwa polisi bisa saja digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan mengontrol oposisi.

Memang, dalam konteks penegakan hukum dan keamanan, kewenangan tersebut bisa dipahami. Namun, kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam sejarah panjang perjalanan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang sehat mengharuskan adanya keseimbangan kekuasaan dan kontrol yang jelas terhadap institusi-institusi negara, termasuk kepolisian. Ketika kewenangan yang luas diberikan tanpa pengawasan yang memadai, potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat tinggi.

Salah satu kasus yang sering dibahas adalah keterlibatan polisi dalam kontestasi politik. Pemilu 2024 yang lalu misalnya, mencatat adanya fenomena keterlibatan polisi secara berlebihan dalam mendukung salah satu pihak. Polisi yang seharusnya netral dan non-partisan, justru menjadi alat politik yang digunakan oleh pihak tertentu. Jika fenomena ini terus berlanjut, maka tidak mustahil polisi akan menjadi instrumen politik yang berkhianat pada fungsinya sebagai pelindung warga negara.

Dalam demokrasi, polisi seharusnya menjadi pamong yang melayani rakyat tanpa memandang afiliasi politik atau kepentingan kekuasaan. Polisi yang profesional adalah polisi yang bekerja untuk kepentingan semua orang, dengan orientasi utama pada keamanan dan hak-hak warga negara. Demokrasi yang matang seharusnya mendorong kepolisian untuk tetap berada dalam koridor fungsinya, yakni menjaga ketertiban dan melindungi masyarakat.

Revisi Undang-Undang Polri yang saat ini sedang dibahas di DPR RI memberikan sinyal yang harus diwaspadai. Ketika polisi diberi kewenangan untuk menyadap komunikasi tanpa dasar hukum yang jelas, memutus akses internet, dan melakukan penggalangan intelijen secara luas, maka kita sedang membuka jalan menuju negara polisi. Negara di mana aparat menjadi alat kekuasaan untuk mengontrol rakyat, bukan melindungi mereka.

Oleh karena itu, sebagai warga negara, kita harus kritis terhadap setiap upaya yang berpotensi mengikis demokrasi kita. Demokrasi yang sehat memerlukan institusi kepolisian yang kuat, tetapi tetap berada dalam batasan-batasan hukum yang jelas. Kita harus mengawal agar kepolisian tetap menjadi pelindung rakyat, bukan menjadi ancaman bagi kebebasan dan hak-hak sipil.

Kita perlu terus mengingatkan bahwa polisi adalah bagian dari kita, masyarakat, yang seharusnya bekerja untuk keamanan dan kesejahteraan bersama. Demokrasi Indonesia telah melalui berbagai ujian, dan sekarang adalah waktu untuk memastikan bahwa reformasi yang telah kita capai tidak berbalik arah. Mari kita bersama-sama menjaga agar kepolisian tetap berada di jalur yang benar, sebagai penjaga keamanan yang profesional dan proporsional, demi masa depan demokrasi yang lebih baik.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)

spot_img

Read more

Local News