Mengenang Rosihan Anwar, Jurnalis Penjaga Ingatan Sejarah Indonesia

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Hari ini, 10 Mei, menandai hari kelahiran salah satu tokoh pers dan kebudayaan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia, ialah H. Rosihan Anwar. Lahir pada 10 Mei 1922 di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, Rosihan Anwar dikenang bukan hanya sebagai jurnalis ulung, tapi juga sebagai sejarawan, budayawan, dan sastrawan yang tekun menjaga denyut nalar kritis bangsa melalui tulisan.

Dilansir dari Kompas, Rosihan wafat pada 14 April 2011 di Jakarta dalam usia 88 tahun. Ia meninggalkan jejak panjang sebagai saksi hidup sejarah Republik ini, mulai dari masa pendudukan Jepang hingga era reformasi. Kompas menyebutnya sebagai salah satu jurnalis paling berpengaruh di Indonesia, dengan warisan tulisan yang tersebar di berbagai media dan buku-buku penting.

Dari Asia Raya ke Pedoman: Pilar Demokrasi

Karier jurnalistik Rosihan dimulai saat masa pendudukan Jepang, ketika ia bergabung dengan harian Asia Raya. Dilansir Nukilan.id dari buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, ia menuturkan perjalanannya mendirikan surat kabar Pedoman pada 1948, yang kemudian menjadi salah satu corong demokrasi paling vokal sebelum akhirnya dibredel oleh pemerintahan Orde Lama pada 1961.

Tak hanya memimpin redaksi, Rosihan juga aktif menulis kolom di media seperti Kompas dan The Jakarta Post, menjadikannya suara yang konsisten dalam membela nilai-nilai kebebasan pers dan demokrasi.

Pena yang Mengarsip Sejarah

Selain sebagai jurnalis, Rosihan dikenal sebagai penulis yang produktif. Beberapa karyanya menjadi rujukan penting dalam memahami dinamika sejarah Indonesia. Di antaranya:

  • Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia (2004), yang merekam kisah-kisah pinggiran sejarah nasional.

  • Memimpin Indonesia: Dari Soekarno sampai SBY (2007), potret pemimpin bangsa dalam berbagai era.

  • Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2009), memoar perjalanannya meliput Konferensi Meja Bundar (Anwar, 2009, hlm. 5).

Melalui karya-karya ini, Rosihan tak hanya menyampaikan fakta sejarah, tapi juga menyuarakan refleksi kritis atas perjalanan bangsa.

Saksi Mata Republik

Nama Rosihan Anwar tercatat dalam sejarah sebagai salah satu wartawan yang meliput langsung peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag, Belanda — sebuah tonggak diplomasi yang menandai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Ia juga menjadi saksi banyak peristiwa besar, dari proklamasi kemerdekaan hingga masa transisi kekuasaan nasional (Anwar, 2009, hlm. 45).

Selain dunia jurnalistik, Rosihan aktif dalam dunia kebudayaan. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), membuktikan bahwa komitmennya terhadap kehidupan intelektual dan seni budaya Indonesia tak kalah besar dari dedikasinya terhadap dunia pers (Tempo, 2011).

Warisan Tak Tergantikan

Di tengah derasnya arus informasi hari ini, sosok Rosihan Anwar tetap relevan. Ia mewakili generasi wartawan yang bukan hanya menulis berita, tapi juga merawat nurani bangsa. Dalam setiap karyanya, Rosihan mengajarkan bahwa menulis adalah bagian dari tanggung jawab sejarah.

Mengutip sebuah catatannya: “Jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, tapi perlawanan terhadap lupa.” (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News