Mengenang 71 Tahun Wafatnya Haji Agus Salim, Sang “Diplomat Ulung” Republik

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Hari ini, 4 November 2025, tepat 71 tahun sejak wafatnya Haji Agus Salim—sosok yang bukan hanya dikenang sebagai pahlawan nasional, tetapi juga sebagai intelektual besar yang mewarnai perjalanan diplomasi dan pemikiran Indonesia pada masa-masa awal republik. Lahir dengan nama Masyhudul Haq, yang berarti “Pembela Kebenaran”, pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat, H. Agus Salim tumbuh sebagai pribadi cerdas, sederhana, tetapi tajam dalam kata dan pemikiran.

Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 657 Tahun 1961, pemerintah secara resmi menetapkan H. Agus Salim sebagai Pahlawan Nasional pada 27 Desember 1961. Pengakuan itu mengukuhkan peran pentingnya dalam perjuangan, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan.

Poliglot dan Orator yang Disegani

Haji Agus Salim dikenal sebagai sosok yang menguasai banyak bahasa asing. Setidaknya empat bahasa Eropa — Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis — ia kuasai dengan fasih. Selain itu, ia juga menguasai bahasa Arab, Turki, dan bahkan Jepang. Kemampuan bahasa tersebut menjadikannya aset berharga bagi para pendiri bangsa, terutama dalam tugas diplomasi internasional.

Dalam berbagai kesempatan, Salim mewakili Indonesia di fora dunia, mulai dari Liga Arab, PBB, hingga perundingan-perundingan penting seperti KMB. Dalam setiap forum, ia hadir sebagai juru bicara yang cerdas, halus, tetapi tegas, sehingga dijuluki banyak kalangan sebagai The Grand Old Man.

Jurnalis, Penulis, dan Pejuang Gagasan

Dilansir Nukilan.id dari berbagai sumber, sebelum aktif dalam diplomasi ternyata Agus Salim telah dikenal luas sebagai jurnalis dan penulis berpengaruh. Ia bekerja di berbagai media, termasuk Hindia Baroe dan Neratja, serta turut aktif membangun gerakan intelektual Islam dalam Sarekat Islam. Tulisan-tulisannya yang tajam, analitis, dan penuh nilai moral membuatnya disegani kawan maupun lawan.

Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa Salim pernah menjadi lulusan terbaik HBS (Hoogere Burgerschool) di Batavia. Meski kesempatan melanjutkan pendidikan ke Belanda sempat terbuka, ia memilih kembali membantu keluarga, sebuah pilihan yang menunjukkan kerendahan hati sekaligus kedalaman nilai yang ia anut.

Kehidupan Sederhana, Pemikiran Mendalam

Meski duduk di posisi penting sebagai diplomat hingga Menteri Luar Negeri pada beberapa kabinet, kehidupan pribadi Agus Salim jauh dari kemewahan. Ia memilih hidup sederhana, tinggal di rumah kontrakan, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca, berdiskusi, serta membimbing generasi muda. Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir bahkan menyebutnya sebagai guru bangsa dalam banyak aspek moral dan pemikiran.

Warisan Pemikiran yang Tetap Relevan

Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di Jakarta. Namun, gagasannya tentang moral politik, diplomasi berkeadaban, dan pentingnya pendidikan tetap relevan hingga hari ini. Kearifannya dalam memandang perbedaan, terutama dalam konteks hubungan Islam dan kebangsaan, menjadikannya figur yang layak terus dikenang dan dipelajari.

Pada peringatan 71 tahun wafatnya hari ini, bangsa Indonesia kembali diingatkan bahwa kemerdekaan dan kedaulatan yang kita nikmati hari ini pernah diperjuangkan oleh sosok-sosok berjiwa besar — salah satunya Haji Agus Salim.

“Untuk mencapai cita-cita besar, kita harus memelihara jiwa yang besar pula,” begitu salah satu pesan Agus Salim yang terus dikenang.

Nukilan.id menghadirkan kembali jejak sejarah ini sebagai upaya menghormati dan menghidupkan kembali nilai-nilai kebangsaan yang diwariskan oleh para pendiri republik. Semoga generasi hari ini dapat terus belajar dari keteguhan moral, keluasan ilmu, dan kebijaksanaan seorang Haji Agus Salim. (XRQ)

Reporter: AKIL

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News