Mengenang 27 Tahun Peringatan Tragedi Trisakti

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Setiap tanggal 12 Mei, bangsa Indonesia memperingati sebuah peristiwa kelam dalam perjalanan reformasi. Tragedi Trisakti—itulah nama yang melekat pada momentum berdarah yang merenggut nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.

Sebagaimana dilansir Nukilan.id dari Detik.com, ribuan mahasiswa kala itu turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Aksi yang awalnya berlangsung damai berubah mencekam setelah aparat keamanan melakukan penembakan secara brutal.

Dalam tragedi tersebut, empat mahasiswa gugur, yakni Elang Mulia Lesmana (1978–1998), Heri Hertanto (1977–1998), Hafidin Royan (1976–1998), dan Hendriawan Sie (1975–1998).

Kematian mereka menjadi simbol pengorbanan generasi muda dalam memperjuangkan keadilan dan demokrasi di negeri ini.

Latar Belakang Krisis Multi-Dimensi

Peristiwa berdarah ini tak muncul tiba-tiba. Saat itu, Indonesia tengah dilanda krisis dari berbagai sisi—ekonomi, politik, hukum, hingga krisis kepercayaan. Harga kebutuhan pokok melambung, pengangguran meningkat, dan masyarakat mulai kehilangan harapan terhadap pemerintah Orde Baru.

Dalam situasi tersebut, mahasiswa tampil sebagai motor perubahan. Mereka menggugat sistem yang dirasa telah gagal dan menuntut reformasi total, termasuk turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan.

Kronologi Tragedi: Dari Aksi Damai Menuju Duka

Aksi demonstrasi besar-besaran dilakukan mahasiswa Universitas Trisakti pada Selasa, 12 Mei 1998. Berdasarkan informasi dari laman resmi Universitas Trisakti, aksi dimulai pukul 10.30 WIB, di parkiran depan Gedung Syarif Thayeb. Selain mahasiswa, dosen dan pejabat fakultas turut hadir.

Sekitar pukul 10.45–11.00 WIB, para demonstran melakukan penurunan bendera setengah tiang. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan melakukan hening cipta sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi bangsa.

Meski suasana awalnya tenang, ketegangan mulai terasa ketika aparat keamanan berdatangan pada pukul 12.25 WIB. Para mahasiswa tetap tenang dan melanjutkan aksi menuju gerbang arah Jalan Jendral S. Parman untuk menyuarakan aspirasi ke DPR/MPR.

Namun, pada pukul 12.40 WIB, mereka terhenti di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat. Setelah berdiskusi dengan aparat, massa akhirnya mundur secara damai sekitar pukul 16.45 WIB.

Sayangnya, situasi berubah drastis hanya beberapa menit kemudian.

Tembakan yang Merenggut Nyawa

Pada pukul 17.05 WIB, saat mahasiswa mulai membubarkan diri, sejumlah aparat justru memprovokasi dengan melontarkan kata-kata kasar. Ketegangan meningkat, dan dalam sekejap, suasana damai berubah menjadi kekacauan.

Aparat kemudian melakukan tindakan represif. Mereka melepaskan tembakan membabi buta, melemparkan gas air mata, serta melakukan pemukulan dengan pentungan. Bahkan, menurut kesaksian, ada tindakan pelecehan seksual yang dilakukan kepada mahasiswi.

Dari atas jembatan layang, aparat kembali menembak ke arah mahasiswa yang berlarian masuk ke dalam kampus Universitas Trisakti.

Akibat penembakan brutal tersebut, tiga mahasiswa meninggal di tempat, sementara satu lainnya menghembuskan napas terakhir di rumah sakit.

Peringatan dan Luka yang Tak Hilang

Tragedi Trisakti bukan sekadar catatan sejarah. Setiap 12 Mei, mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul untuk mengenang para korban. Mereka menggelar doa, aksi damai, hingga mimbar bebas sebagai bentuk penghormatan.

Hingga kini, pelaku penembakan belum pernah diadili secara tuntas. Hal ini menambah luka kolektif yang belum sepenuhnya sembuh dalam memori bangsa.

Tragedi ini mengingatkan kita bahwa harga dari perubahan bisa sangat mahal. Namun, semangat para mahasiswa yang gugur tetap hidup sebagai obor perjuangan untuk masa depan Indonesia yang lebih adil dan demokratis. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News