Nukilan.id – Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan spesies elang berukuran sedang dari keluarga Accipitriadae dan genus Nisaetus yang merupakan endemik di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda.
Elang ada yang memiliki tubuh sedang sampai besar dengan panjang tubuh antara 60-70 cm. Sedangkan kepala berwarna cokelat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm), dan tengkuk yang cokelat kekuningan.
Ketika terbang, elang jawa serupa dengan elang brontok (Nisaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung tampak lebih kecokelatan dengan perut terlihat lebih gelap serta berukuran sedikit lebih kecil. Sedikit banyak suaranya mirip elang brontok meski ada perbedaan dalam nadanya.
Sesuai dengan namanya, persebaran elang jawa hanya terdapat di sekitar Pulau Jawa. Keberadannya bisa ditemui di Ujung Barat (Taman Nasional Ujung Kulon) sampai ujung timur (Semenanjung Blambangan Purwo) Pulau Jawa.
Tetapi burung ini hanya terbatas di wilayah hutan primer dan daerah peralihan antara daratan rendah dan pegunungan. Sementara itu satwa ini berspesialisasi hidup di kawasan berlereng. Meski memiliki bola mata yang kecil, burung ini mempunyai tatapan tajam untuk menaklukan mangsa.
Dari atas ketinggian, elang akan mengikuti gerak-gerik mangsa. Lalu dengan sigap dan tangkas, dia akan menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun di atas tanah. Mulai dari tupai, bajing, kalong, musang sampai anak monyet akan menjadi santapannya.
Pada tahun 1898 seorang bernama EP Rillwitz mengirim spesimen elang jawa dari Gunung Gede, Jawa Barat ke Amerika Serikat. Dirinya punya kepentingan karena menganggap elang itu istimewa, pasalnya memiliki jambul. Pada awalnya kurator di museum New York mengindentifikasi sang elang sebagai elang brontok.
Tetapi sejak Maz Bartels yang diteruskan E Stresemaann – ahli burung dari Belanda dan Jerman – yang meneliti lebih dalam di awal abad ke 20, elang Jawa lalu ditempatkan sebagai spesies terpisah. Sebagai bentuk penghormatan, atas jasa Bartels yang dianggap penemu, pada 1907 spesies elang baru ini dinamai bartelsi.
“Dahulu peneliti Belanda (…) menemukan spesies burung Elang Jawa di daerah Cimungkad, Sukabumi (..) sekarang masih menjadi wilayah TNGGP. Sekarang spesimennya ada di Leiden (Belanda) ada museumnya dan disimpan di sana,” jelas Kepala Balai Besar TNGPP, Ade Bagja Hidayat yang dikutip dari CNN Indonesia.
Menurut Ade, burung ini dikenal sebagai hewan dirgantara dengan daya jelajah yang luas. Sehingga, sarang elang bisa ditemukan di wilayah luar TNGGP. Elang Jawa juga senang hidup di pohon yang tinggi menjulang agar dapat digunakan untuk mengincar mangsa atau sebagai sarang.
Umumnya sarang akan ditemukan di pohon yang tembuh di lereng dengan kemiringan sedang sampai curam dengan dasar lembah memiliki anak sungai. Hal ini berhubungan dengan kesempatan memperoleh mangsa dan memelihara keselamatan anak.
Elang Sang Juru Damai
Ternyata tidak hanya para juru damai di meja perundingan yang bekerja keras untuk mengerem perseteruan antara Bangsa Arab dan Israel. Benih-benih perdamaian mulai muncul berkat peran burung elang.
Dipaparan Trubus dalam buku Ekplorasi Elang Sang Juru Damai menyatakan bangsa Arab dan Israel ternyata memiliki satu kepentingan yang sama yaitu menyelamatkan Great Rift Valley. Peneliti kedua negara tersebut tertarik bekerja sama untuk menyelamatkan banyak jenis burung, terutama elang.
Diketahui Great Rift Valley merupakan lembah indah yang membentang sepanjang 4.000 mil bermula dari selatan Turki mencapai Suriah, Lebanon, Sungai Yordan dan Laut Mati. Di sanalah ribuan perkebun dari kedua negara itu menggantungkan hidup.
Tetapi ketika ini banyak serangan tikus yang membuat para pekebun menderita. Kondisi ini menyebabkan panen gagal karena ulah tikus. Berbagai pestisida kimia yang ditebar tak mempan menghalau tikus, karena itu diputuskanlah menggunakan jasa predator alami. [goodnewsfromindonesia]