NUKILAN.id | Opini – Gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menuai pro dan kontra. Usulan ini, yang disampaikan pada perayaan ulang tahun Partai Golkar, digadang-gadang sebagai solusi untuk menekan biaya politik Pilkada. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, ide ini justru berpotensi memperparah praktik politik uang dan menjauhkan rakyat dari hak memilih secara langsung.
Dukungan terhadap gagasan ini dari sejumlah pimpinan partai politik bukanlah hal baru. Pada 2014, upaya serupa bahkan hampir menjadi kenyataan ketika Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui undang-undang yang membatalkan Pilkada langsung. Namun, langkah tersebut dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang kala itu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mempertahankan mekanisme Pilkada langsung.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia telah membuktikan bahwa Pilkada langsung memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Dalam sejumlah kasus, memang benar bahwa politik uang menjadi momok yang sulit dihindari. Namun, solusi untuk mengatasi hal ini bukanlah dengan menyerahkan proses pemilihan kepada DPRD.
Pilkada di Bawah Bayang-Bayang Mahar Politik
Salah satu argumen yang sering digunakan untuk mendukung Pilkada melalui DPRD adalah tingginya biaya politik dalam Pilkada langsung. Kandidat sering kali mengeluarkan dana besar untuk membeli suara pemilih. Namun, yang jarang diungkap adalah praktik mahar politik yang terjadi di balik layar. Kandidat sering kali harus membayar pimpinan partai politik untuk mendapatkan tiket pencalonan. Proses ini tidak hanya meningkatkan biaya politik tetapi juga berlangsung dalam ruang gelap yang sulit diawasi oleh publik.
Ketergantungan pada mahar politik menumbuhkan budaya korupsi dan praktik tidak etis di internal partai. Solusi terbaik untuk membasmi praktik ini adalah dengan menghapus ambang batas pencalonan. Pada Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan dari 20% menjadi 7,5%. Meski langkah ini membuka lebih banyak peluang, praktik mahar tetap sulit dihilangkan. Dengan ambang batas 0%, semua orang, baik dari jalur partai maupun independen, dapat mencalonkan diri. Hal ini akan menciptakan kompetisi yang lebih sehat dan transparan.
Pilkada Langsung dan Manfaatnya bagi Demokrasi
Studi menunjukkan bahwa kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat cenderung lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Contoh keberhasilan ini terlihat pada Walikota Surabaya 2010-2015, Tri Rismaharini, yang berhasil meningkatkan kualitas hidup warganya melalui pembangunan ruang terbuka hijau dan program sosial. Di Banyuwangi, Bupati Abdullah Aswar Anas memperbaiki layanan kesehatan berbasis keluarga, memberikan dampak positif yang signifikan bagi warganya.
Pilkada langsung juga menghidupkan demokrasi lokal yang selaras dengan otonomi daerah. Warga diberi ruang untuk terlibat dalam proses politik dan mengekspresikan preferensi mereka. Sebaliknya, Pilkada melalui DPRD hanya akan menjadikan masyarakat sebagai penonton, tanpa kuasa untuk mengoreksi keputusan para elit.
Ancaman terhadap Demokrasi
Mengembalikan Pilkada kepada DPRD bukan hanya langkah mundur, tetapi juga membuka peluang untuk amandemen konstitusi yang lebih besar. Ada kekhawatiran bahwa langkah ini merupakan awal dari rencana untuk menghapus pemilihan presiden secara langsung. Jika gagasan ini terealisasi, maka demokrasi Indonesia akan menghadapi ancaman serius.
Presiden Prabowo sebaiknya membatalkan gagasan ini demi menjaga integritas demokrasi. Pilkada langsung bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang memberikan ruang kepada rakyat untuk terlibat aktif dalam menentukan masa depan mereka. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang benar-benar memahami dan mengakar di masyarakat, bukan yang hanya bergantung pada dukungan elit.
Indonesia telah banyak belajar dari masa lalu. Saat ini, yang dibutuhkan adalah upaya memperbaiki sistem Pilkada langsung, bukan menghapusnya. Mari kita jaga demokrasi ini agar tetap menjadi milik rakyat, bukan hanya segelintir elit politik.
Penulis: Akil