NUKILAN.id | Opini – Pengagungan terhadap seseorang berdasarkan garis keturunan merupakan salah satu bentuk feodalisme yang masih lestari di masyarakat kita. Salah satu contohnya adalah pemujaan berlebihan terhadap mereka yang menyandang gelar Habib—sebutan bagi keturunan Nabi Muhammad. Tidak jarang, mereka yang memiliki gelar ini dianggap memiliki kedudukan sosial lebih tinggi, bahkan dijadikan panutan tanpa mempertimbangkan rekam jejak moral maupun legalnya.
Fenomena ini mencerminkan dua karakter masyarakat Indonesia yang dikritik oleh sastrawan dan jurnalis Mukhtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia, yakni berjiwa feodal dan bermental inferior. Feodalisme ini terus hidup dalam alam bawah sadar kita, diwariskan dari generasi ke generasi, dan bahkan semakin menguat di era modern. Feodalisme agama yang mengagungkan keturunan Nabi menjadi jalan pintas bagi sebagian orang untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan, meskipun tidak memiliki kapasitas keilmuan atau akhlak yang baik.
Feodalisme Agama dan Kasus Habib Palsu
Kepercayaan membuta terhadap keturunan Nabi kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi. Kasus-kasus penipuan dengan kedok nasab mulia semakin marak terjadi. Misalnya, beberapa tahun terakhir di Kalimantan Selatan, sejumlah individu mengaku sebagai Habib dan mengumpulkan pengikut demi keuntungan pribadi. Salah satu kasus yang mencuat adalah perkara Ahmadan Asegab, yang dikenal dengan inisial JMW oleh pihak kepolisian. Ia menggunakan platform daring, termasuk WhatsApp dan blog pribadi, untuk mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi dan menawarkan jasa pencatatan nasab bagi orang-orang yang ingin menyandang status Habib. Tidak sedikit yang rela mengeluarkan uang demi gelar tersebut.
Fakta bahwa ada individu yang rela membayar demi gelar Habib menunjukkan bagaimana feodalisme agama masih mengakar kuat. Gelar tersebut dianggap sebagai modal sosial yang berharga, yang dapat membuka akses terhadap kedudukan religius, kehormatan, dan bahkan kekuasaan. Masyarakat yang masih terjebak dalam mentalitas inferior akhirnya menerima klaim-klaim ini tanpa kritis.
Warisan Kolonial yang Tak Kunjung Luntur
Mentalitas inferior yang melahirkan feodalisme ini sebenarnya bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sejarah mencatat bahwa sistem sosial kolonial turut membentuk pola pikir tersebut. Pada masa Hindia Belanda, masyarakat dibagi menjadi tiga kelas: Eropa sebagai kelas tertinggi, Timur Asing (termasuk keturunan Arab dan Cina) sebagai kelas menengah, dan Bumiputra di lapisan terbawah. Ketidaksetaraan ini lambat laun diterima sebagai sesuatu yang alami, hingga membentuk perasaan rendah diri yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Psikolog Alfred Adler pernah menjelaskan bahwa individu yang memiliki perasaan rendah diri cenderung mengkompensasi kekurangannya dengan cara berlebihan. Dalam konteks ini, masyarakat yang mengalami inferioritas secara historis cenderung mencari sesuatu untuk dipuja, dan salah satu bentuknya adalah mengagungkan keturunan Nabi secara tidak rasional. Feodalisme agama yang terbentuk akibat warisan kolonial ini membuat masyarakat menerima tanpa kritis segala klaim kemuliaan nasab, meskipun tidak ada bukti konkret yang mendukungnya.
Meruntuhkan Feodalisme Agama
Sudah saatnya masyarakat Indonesia mengikis warisan feodalisme agama ini. Menghormati keturunan Nabi tentu bukan sesuatu yang salah, tetapi mendewakan mereka tanpa mempertimbangkan kualitas pribadi, moral, dan intelektualitasnya adalah bentuk kepatuhan buta yang bisa merugikan. Agama mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh garis keturunan, tetapi oleh ketakwaan dan perbuatannya.
Buya Hamka pernah berkata bahwa mengistimewakan keturunan Nabi secara berlebihan justru bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan kesetaraan manusia. Sebab, tidak ada satu pun manusia yang lahir dengan keistimewaan absolut hanya karena garis keturunannya.
Menjadi tugas kita bersama untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap figur-figur yang diagungkan atas dasar nasab semata. Feodalisme agama harus dikikis agar masyarakat bisa menilai seseorang berdasarkan integritas dan kompetensinya, bukan sekadar karena status turun-temurun. Jika mentalitas feodal ini terus dipertahankan, bukan tidak mungkin kita akan terus terjebak dalam lingkaran pemujaan tanpa alasan yang rasional. (XRQ)
Penulis: Akil