Wednesday, June 26, 2024

Menapak Jejak Cawe-Cawe Jokowi: Upaya Menancapkan Pengaruh di Senjakala Kekuasaan

NUKILAN.id | Opini – Di penghujung kekuasaannya, Presiden Joko Widodo tampaknya terus berusaha menancapkan pengaruh dalam pemerintahan setelah lengser kelak. Setelah secara terang-terangan “cawe-cawe” untuk memenangkan anaknya dalam pemilihan presiden 2024, Jokowi kini bersiap-siap cawe-cawe dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Dengan mengerahkan menantu, orang dekat, asisten, hingga anak dan istrinya maju dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, ia berupaya memperpanjang masa berkuasa dalam pemilihan tersebut.

Jokowi juga berusaha menunda pemilihan umum, meski belakangan upayanya gagal. Dalam pemilihan kepala daerah, ia mencoba memajukan jadwal pada bulan September, lebih cepat dari rencana semula di bulan November. Pada September, ia masih memiliki pengaruh sebagai presiden. Rencana itu dijalankan dengan pengajuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat akhir tahun lalu. Namun, DPR dan Mahkamah Konstitusi menguatkan dengan menetapkan waktu Pilkada serentak tetap pada 27 November 2024.

Jika Pilkada jadi dipercepat, Jokowi dapat leluasa mengerahkan sumber daya negara untuk memenangkan orang-orang yang dia sokong, seperti yang ia lakukan dalam pemilihan presiden lalu. Dalam pemilihan presiden tersebut, ia memobilisasi bantuan sosial, mengerahkan aparatur negara, dan berkampanye dengan kedok kunjungan kerja.

Pada Pilkada November nanti, peluang “cawe-cawe” itu menyempit, meski tidak hilang sama sekali. Menurut peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024, pendaftaran calon kepala daerah dimulai akhir Agustus, diikuti masa kampanye pada 25 September hingga 23 November. Berkaca pada pemilihan presiden, bukan tak mungkin Jokowi akan kembali menggunakan kesempatan itu untuk mempengaruhi publik dengan mengarahkan pilihan mereka. Apalagi, Jokowi telah mendapatkan impunitas atas tindakannya dari Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2024 yang menolak gugatan dugaan kecurangan pemilu pada 22 April 2024 menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jokowi pada pemilihan presiden lalu tidak melanggar hukum.

Namun, secara kasat mata, keberpihakannya dalam pemilu melanggar banyak undang-undang, mulai dari asas netralitas presiden dan aparatur negara hingga aturan bantuan sosial. Pelanggaran-pelanggaran hukum itu dicatat oleh Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion. Hakim yang mempertahankan integritas hukum melihatnya sebagai perangkat penegakan keadilan. Bagi mereka, apa yang dilakukan Jokowi membahayakan moral dan keadilan hukum. Tetapi, jumlah hakim yang mendukung Jokowi membuat tindakannya sah secara hukum, dengan lima hakim menolak segala argumen dan bukti kecurangan pemilu yang diajukan oleh calon presiden Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Di mata Jokowi, kepala daerah merupakan tentakel penting penyokong dinasti politik. Setelah berhasil membawa Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden, ia mendorong menantunya, Wali Kota Medan Bobby Nasution, untuk menjadi gubernur Sumatera Utara. Di belakang Bobby, masih ada Kaesang Pangarep, anak bungsunya yang gagal membawa Partai Solidaritas Indonesia lolos ambang batas parlemen. Setelah Kaesang, Jokowi mungkin akan menyiapkan jalan politik bagi orang dekat, keluarga besar, bahkan cucu-cucunya. Keberlanjutan dinasti itu harus ditopang oleh kekuasaan kecil di banyak daerah. Dengan menjadi pengendali kepala daerah di tingkat satu dan dua, Jokowi akan tetap relevan di arena kekuasaan setelah tak lagi menjadi presiden pada 20 Oktober 2024.

Sebagai politikus yang tak memiliki partai politik, selama ini Jokowi mengandalkan pencitraan dan gimik untuk memperoleh dukungan publik. Dukungan organisasi relawan dan pemilih tak terdidik yang mudah termakan informasi adalah alat Jokowi untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan partai. Posisi tawar itu juga berguna untuk melindungi diri dari pengusutan hukum proyek-proyek mercusuar dan kebijakan kontroversial selama ia menjadi presiden.

Jokowi seolah-olah tengah menulis babak baru dalam buku panjang dinasti politik di Indonesia, dengan harapan warisannya akan bertahan melampaui masa jabatannya. Waktu akan menjawab, apakah strategi cawe-cawe ini akan berhasil atau hanya meninggalkan jejak kontroversi yang memudarkan citra demokratis yang coba ia bangun.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img