Menanti Naiknya Indeks HAM di Masa Pemerintahan Prabowo

Share

Nukilan.id – Laporan tahunan Setara Institute menunjukkan indeks HAM pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu 2019-2024 merosot tajam. Laporan ini merupakan refleksi peringatan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember kemarin.

Peneliti Setara Institute, Sayyidatul Insiyah mengatakan skor rata-rata indeks HAM untuk seluruh variabel pada tahun 2024 hanya 3,1 atau turun 0,1 dibandingkan tahun 2023. Indeks HAM ini mengacu pada rumpun hak yang tercantum dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan menetapkan enam indikator pada variabel hak sipil dan politik dan lima indikator pada hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Indikator hak memperoleh keadilan terjadi penurunan dari 3,5 menjadi 3,2. Hal ini, kata Sayyidatul dipengaruhi oleh masifnya tindakan penyiksaan dalam proses penegakan hukum, krisisnya perlindungan terhadap pembela HAM, hingga tak adanya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Indikator lainnya yang mengalami penurunan yaitu hak turut serta dalam pemerintahan dari 3,1 menjadi 3,0 dan hak atas tanah dari 1,9 menjadi 1,8. Sementara hak hidup dalam dua tahun terakhir, hak atas rasa aman, dan hak atas budaya stagnan di angka 3,3.

Sementara indikator yang paling rendah adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat yang turun dari 1,3 pada tahun 2023 menjadi 1,1 pada tahun ini. Hal ini tampak dari banyaknya kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berbasis UU ITE, tindakan represif terhadap upaya menyampaikan pendapat, pembubaran diskusi publik, dan sebagainya.

“Kebebasan berekspresi dan berpendapat selalu berada di skor paling rendah, tidak hanya pada rumpun hak sipol tetapi juga pada keseluruhan rumpun yang ada pada variabel hak sipil dan politik dan ekonomi, sosial, dan budaya,” ujar Sayyidatul Insiyah, dikutip Nukilan dari VOA Indonesia, Rabu (11/12/2024).

Upaya Pencabutan KKR

Pada awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah Pusat melalui Pelaksana Harian (Plh) Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, Suryawan Hidayat menyarankan kepada Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan mulai berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat di Aceh dan tentunya semakin melemahkan indeks HAM. Pemerintah lantas menyarankan agar kerja-kerja rekonsiliasi selanjutnya dileburkan ke dalam Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Padahal, BRA belum pernah melakukan kerja-kerja rekonsiliasi di Aceh sebelumnya.

Hal ini tentunya menjadi preseden buruk serta suatu kemunduran dalam upaya untuk meningkatkan indeks HAM ke depan. Setelah UU KKR dicabut MK pada 2006 lalu, kini Pemerintah Pusat melalui Plh Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri RI malah menyarankan Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR.

Pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Teuku Kemal Pasya mengatakan saran tersebut merupakan suatu tindakan yang kontradiktif dengan semangat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan pemenuhan hak-hak korban konflik di Aceh.

“Konsep yang sudah dibangun itu akhirnya dibongkar dan dibuang begitu saja, kontradiktifnya di situ. Sebagai upaya untuk membangun rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan, ide itu seharusnya ditolak,” ujar Teuku Kemal Pasya kepada Nukilan, Kamis (21/11/2024).

Wakil Ketua Komnas HAM RI, Amiruddin menyampaikan bahwa pemerintah belum mampu mencari jalan keluar dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di masa sistem politik yang tidak demokratis. Karena itu lembaga KKR Nasional diperlukan bukan hanya sebagai medium pemberian hukum, namun idealnya juga menjadi alat pengungkap kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.

“Tanpa mengungkap kebenaran tidak ada gunanya. Pengungkapan kebenaran menjadi upaya dalam memenuhi hak untuk tahu, bukan hanya kepada korban, tetapi juga kepada bangsa Indonesia,” tutur Amiruddin, dilansir dari laman resmi Komnas HAM, Rabu, 22 Desember 2021.

Melawan Kekerasan lewat Musik

Seniman musik di Aceh memiliki cara tersendiri untuk melawan berbagai kekerasan selama konflik bersenjata berlangsung di Aceh dulu, yaitu melalui lirik-lirik musik mereka. Di antaranya grup band Nyawoung, penyanyi Abu Bakar Ar, M Yacob Tailah, Syeh Youldi Prima, Sabirin Lamno, dan penyanyi lainnya.

Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan para seniman ini ingin menunjukkan bagaimana musik berusaha memutus mata rantai kekerasan. Menurut Husna, ruang seperti musik ini merupakan tempat di mana wacana bertarung. Ruang inilah yang diperebutkan untuk dimenangkan, apakah oleh rezim atau masyarakat sipil sendiri.

“Lalu pertanyaannya, sejauh mana kita berusaha untuk memenangkan narasi yang mengarah kepada pemenuhan hak asasi manusia, baik bagi korban maupun pencegahan pelanggaran hak asasi manusia di masa mendatang,” ujar Husna dalam diskusi pameran dan pertunjukan musik yang merekam pelanggaran HAM yang dibredel pada masa konflik Aceh dengan tema “Lorong Ingatan” di pelataran KontraS Aceh, Lamlagang, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh, Selasa (10/12/2024).

Dia menambahkan, tema tentang musik untuk mengingat merupakan salah satu pendekatan yang baru untuk mengenang pelanggaran HAM yang terjadi yang di Aceh dulu untuk memotret suasana konflik bersenjata, tragedi kemanusiaan, kekerasan seksual, pembunuhan, penghilangan paksa, dan juga pengungsian. Upaya ini penting untuk mencatat pelanggaran HAM di tengah belum hadirnya indeks HAM untuk mengukur pelanggaran HAM yang terjadi di masa itu.

Vokalis grub band Nyawoung, Cut Aja Rizka menuturkan sebagai orang Aceh yang saat itu tinggal di Jakarta, dia tidak merasakan langsung bagaimana penderitaan masyarakat Aceh yang berada dalam status DOM dan konflik bersenjata dulu. Ia hanya mendengarkan cerita dari teman-teman dan keluarganya yang masih tinggal di Aceh saat itu.

“Seperti apa ya, mungkin generasi sekarang nggak bisa membayangkan ya. Ketika masa itu, walaupun tinggal di luar Aceh, ada rasa cemas itu pasti, apalagi keluarga di sini (di Aceh). Saya pulang-pergi ke Aceh dari Jakarta karena semua keluarga saya masih di Aceh waktu itu,” kata Cut Aja, Selasa (10/12/2024).

Dia menyebutkan, walaupun tidak berada langsung di Aceh, dirinya tetap merasakan bagaimana pedihnya penderitaan masyarakat Aceh saat itu. Perasaan itulah yang tertuang dalam lagu-lagu Nyawoung sehingga setiap lagunya memiliki ikatan emosional dan gejolak jiwa tersendiri, baik bagi yang menyanyikan maupun yang mendengarkannya.

Kepala Divisi Kampanye dan Jaringan KontraS, Ahmad Sajali mengatakan upaya mengenang pelanggaran HAM melalui musik ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kekerasan tak melulu harus dibalas dengan kekerasan pula dengan mengangkat senjata, namun bisa juga dilakukan dengan berbagai cara lainnya seperti yang sudah dilakukan oleh grup band Nyawoung dan para penyanyi Aceh seperti Abu Bakar Ar, M Yacob Tailah, dan Sabirin Lamno.

“Upaya-upaya seperti ini penting untuk terus menjadi jembatan atau sarana penyampaian gagasan atau ide, dan memang itulah yang perlu disebarluaskan untuk melawan pelanggaran HAM yang terjadi dulu, sekarang, dan di masa yang akan datang,” kata Ahmad Sajali, Selasa (10/12/2024).

Apa yang dilakukan oleh para seniman ini adalah suatu upaya untuk merekam indeks HAM dengan caranya sendiri, yaitu melalui lantunan musik di saat belum memungkinkannya dilakukan pengukuran indeks HAM di Aceh saat itu yang masih dalam status DOM, Darurat Militer, dan Darurat Sipil. Ke depan, tentunya kita berharap indeks HAM di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini semakin meningkat. Caranya dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan menjamin hak-hak mendasar masyarakat berdasarkan berbagai indikator pada variabel hak sipil dan politik dan indikator lainnya pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. []

Reporter: Sammy

spot_img

Read more

Local News