Nukilan.id – Kemunculan Harimau Sumatera dengan nama latin Phantrea Tigris Sumatrae di tengah-tengah atau dekat dengan permukiman masyarakat di Sumatra Barat (Sumbar) terus berulang. Rentang waktu 2018-2022, catatan langgam.id, kemunculan Harimau Sumatra ke permukiman warga sudah 70 kali terjadi.
Sebanyak 70 kali kehadiran Harimau Sumatra atau kerap disebut “Inyiak” oleh sebagain warga itu baru di wilayah Sumbar, belum lagi ia muncul di daerah lain di Pulau Sumatra.
Teranyar, satwa langka yang dilindungi itu kembali muncul di permukiman warga di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumbar, Senin (18/4/2022).
Aktivis Perlindungan Satwa Langka, Novi Fani Rovika mengatakan, kemunculan satwa langka ke permukiman penduduk disebabkan rusaknya ekosistem hutan, lantaran ekspansi besar-besaran aktivitas manusia di kawasan hutan.
Novi menilai, dalam lima dekade terakhir, orientasi manusia melihat hutan hanya melulu soal sumber daya ekonomi belaka. “Hutan selalu dipandang soal bagaimana bisa menghasilkan uang. Tidak ada pandangan ke depan, betapa pentingnya keberadaan hutan dan satwa di dalamnya bagi kehidupan manusia,” ujar Novi kepada langgam.id, Selasa (19/4/2022).
Sementara itu, Ketua Forum Harimau Kita, Ahmad Faisal menyebutkan, seringnya muncul harimau merupakan ancaman nyata bagi satwa itu. Faisal memprediksi, jika kondisi ini terus terjadi, 100 tahun ke depan, Harimau Sumatra hanya akan tinggal cerita.
Menurut Faisal, ancaman terbesar bagi Harimau Sumatra adalah konflik dengan manusia dan perburuan. “Deforestasi merupakan akar utama konflik manusia dengan harimau,” ujar Faisal dalam webinar Status Konservasi harimau Sumatera beberpaa waktu lalu.
Setidaknya, kata Faisal, sekitar 7,54 juta hektare lahan hutan primer di Sumatra hilang selama 1990-2010 atau sekitar 0,38 juta hektar per tahun.
Kemudian, jumlah harimau Sumatra saat ini diperkirakan sebanyak 568 ekor, turun dari perkiraan pada 2012 sebanyak 618 ekor.
Survei 1978 mencatat, masih ada sekitar 1.000 ekor. Sebaran satwa ini terdapat di 23 kawasan di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Aceh hingga ke Lampung.
Poernomo Gontha Ridho, dalam laporannya untuk Forest Digest, menulis bahwa Indonesia pernah menjadi rumah bagi tiga dari delapan subspesies harimau yang ada di dunia: Harimau Jawa, Harimau Bali, dan Harimau Sumatera.
Ledakan populasi di Jawa sejak awal abad 19 telah menghilangkan banyak kehidupan. Harimau Jawa pamit dan tak terlihat lagi sejak 1980-an. Sedikit ke timur, harimau Bali innalillahi lebih dulu, yakni pada 1940-an.
Pada 1996, Harimau Sumatra, satu-satunya harimau yang tersisa, masuk ke dalam kategori sangat terancam punah.
Poernomo menyebut, ketiadaan harimau di hutan Indonesia telah merusak ekosistem dan keseimbangan alam. “Sebagai predator tertinggi dalam rantai makanan, harimau adalah pemakan herbivora seperti babi dan kijang. Jika harimau punah, babi dan kijang akan melimpah,” tulis Poernomo dalam laporannya.
“Babi adalah hama bagi perkebunan masyarakat. Jika kelak babi diburu dan punah, tak ada lagi yang memakan tumbuhan. Akibatnya tanaman invasif akan memangsa tanaman lain. Ujungnya, manusia akan menderita karena kehilangan pangan untuk hidup kita,” sambungnya.
Harimau Menjaga Keseimbangan Alam
Naturalis Indonesia Wiene Andriyana mengatakan, harimau kini menghadapi ancaman balok susun. Perburuan liar, kehilangan habitat akibat hutan yang menjadi rumah mereka diokupasi dan dikonversi untuk kebutuhan manusia, membuat harimau semakin terdesak.
Wiene menjelaskan, sebagai predator puncak di hutan, ketiadaan harimau akan mengacaukan keseimbangan alam. Apabila kepunahan harimau tak dapat dihindari, kata Wiene, bencana yang ditimbulkan karena hilangnya predator puncak di alam bakal terulang kembali.
Wiene mencontohkan, pada 1930, terjadi perburuan besar-besaran serigala di taman nasional Yellowstone, Amerika Serikat. Petani merasa terancam karena ternak mereka sering dimangsa serigala sebagai predator puncak. Perburuan besar-besar dilakukan selama berpuluh-puluh tahun, sehingga serigala di kawasan itu tak terlihat lagi.
Apa yang terjadi setelah itu? “Tak lama setelah serigala menghilang, terjadi ledakan populasi sejenis rusa besar (elk) yang tadinya merupakan mangsa utama serigala. Rusa ini memakan rumput dan tumbuhan muda, sehingga tidak ada regenerasi pepohonan yang cukup di hutan,” tulis Wiene.
Wiene melanjutkan, buntut dari itu banyak burung dan berang-berang tak punya sumber pangan yang cukup karena kalah bersaing dengan rusa. “Beragam burung dan berang-berang pun turut hilang. Sungai pun terdampak, karena hilangnya vegetasi rumput membuat air tak punya penahan lagi. Banjir dan erosi tidak terhindarkan,” lanjutnya.
Kondisi menyedihkan ini, tulis Wiene, terus terjadi sampai tahun 1995. Menyadari ketimpangan ekosistem itu, pemerintah Amerika melepaliarkaan serigala dari Kanada di wilayah tersebut. Perlahan keseimbangan alam pulih kembali di Yellowstone. “Tentu kita tidak ingin ini peristiwa serupa terjadi di Indonesia. Dari mana kita mengimpor harimau Sumatra?”
Harimau Sumatera sebagai spesies predator terakhir hutan tropis, kini tengah menempuh jalan kepunahan. [Langgam.id]