Matahari Kembar dan Bom Waktu Bernama Gibran

Share

NUKILAN.id | Opini – Ketika Mahkamah Konstitusi memelintir syarat usia calon presiden dan wakil presiden demi membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, publik tahu keputusan itu bukan sekadar produk hukum, melainkan akrobat kekuasaan. Kini, akrobat itu mulai menampakkan risiko politiknya. Forum purnawirawan TNI, terdiri dari ratusan jenderal, laksamana, dan marsekal, baru-baru ini menyerukan tuntutan pemakzulan terhadap Gibran. Ini bukan suara sumbang yang datang tiba-tiba, melainkan akumulasi kegelisahan yang telah lama membusuk di bawah permukaan.

Tuntutan tersebut mungkin terlihat prematur, bahkan terlalu politis. Namun, seperti pepatah, tak ada asap tanpa api. Kekhawatiran para pensiunan perwira tinggi itu—termasuk mantan Wakil Presiden Try Sutrisno—berangkat dari satu pertanyaan besar: apa jadinya negara ini jika presiden terpilih Prabowo Subianto yang telah berusia 73 tahun mengalami halangan tetap, dan kekuasaan penuh jatuh ke tangan seorang wakil presiden berusia 37 tahun yang naik lewat “jalan belakang”?

Gibran dan Legitimasi yang Terluka

Naiknya Gibran ke kursi wakil presiden sejak awal tidak pernah lepas dari kontroversi. Berkat putusan MK yang diketuai oleh iparnya sendiri, Gibran berhasil mencalonkan diri meski belum memenuhi usia minimal 40 tahun. Ini mencederai rasa keadilan publik, mengoyak konstitusi, dan meninggalkan luka dalam sistem ketatanegaraan kita. Kemenangan pasangan Prabowo-Gibran pun, meski sah secara administratif, terus dihantui narasi bahwa Gibran adalah “anak haram konstitusi”.

Pernyataan itu bukan sekadar ungkapan emosional. Ia mencerminkan krisis legitimasi yang akan terus membayangi jalannya pemerintahan mendatang. Seperti kutukan, status politik Gibran akan menjadi beban permanen, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi Presiden Prabowo. Gibran akan terus menjadi sasaran kritik, dan Prabowo, pada titik tertentu, tak bisa mengelak dari pertanggungjawaban politik atas pilihannya menggandeng Gibran.

Prabowo dan Bayang-Bayang Jokowi

Prabowo sendiri tidak bisa lepas tangan. Dia yang membuka pintu bagi Gibran demi meraih dukungan Jokowi, kini harus menghadapi konsekuensinya: sebuah pemerintahan dengan dua matahari. Prabowo boleh jadi presiden, tapi bayang-bayang Jokowi belum juga pudar. Dan Gibran, sebagai anak Jokowi, dianggap sebagai kepanjangan tangan sang ayah di tubuh pemerintahan baru.

Tuntutan purnawirawan TNI mempermasalahkan bukan hanya Gibran, tapi juga proyek-proyek strategis nasional warisan Jokowi, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Mereka menuntut agar PSN dievaluasi, bahkan dihentikan. Ini menunjukkan bahwa serangan terhadap Gibran adalah bagian dari kritik yang lebih luas terhadap dominasi Jokowi di era Prabowo.

Ada aroma tawar-menawar di sini. Seolah-olah Prabowo sedang mengizinkan kelompok-kelompok tertentu “menyerang” Jokowi lewat Gibran, sebagai bagian dari upaya memotong pengaruh politik sang mantan presiden. Politik balas budi telah berubah menjadi politik balas dendam.

Manuver Gibran dan Ketidaknyamanan Istana

Situasi makin rumit ketika Gibran mulai bergerak sendiri. Program “Lapor Mas Wapres” dan pembagian bantuan pendidikan tanpa koordinasi dengan presiden menambah kecurigaan bahwa Gibran tengah membangun panggungnya sendiri. Ini menjadi alarm bagi Prabowo dan lingkaran istana. Konon, Prabowo tak nyaman dengan ambisi Gibran yang dinilai terlalu dini menyiapkan langkah menuju 2029.

Beberapa menteri bahkan telah diminta untuk tidak menghadiri undangan Gibran. Istana menyarankan agar Gibran tak memanggil pejabat tanpa seizin presiden. Ini adalah sinyal jelas bahwa matahari kembar di tubuh kekuasaan mulai saling membakar.

Politik sebagai Seni Memanfaatkan

Seperti biasa, para politisi mencium peluang. Di satu sisi, mereka menolak gagasan pemakzulan—terlalu ekstrem, terlalu awal. Namun di sisi lain, mereka menebar sinyal ketidaksukaan terhadap Gibran. Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, menyatakan partainya mendukung Prabowo tapi bukan Gibran. Pernyataan ini tak bisa dianggap angin lalu. Ini adalah umpan politik yang bisa menjadi bola liar dalam empat tahun ke depan.

Para purnawirawan sendiri, meski mengusung agenda pemakzulan, juga punya kepentingan politik jangka panjang. Usulan mereka untuk mengembalikan UUD ke naskah asli sebelum amandemen sejalan dengan wacana politik Prabowo. Artinya, pemakzulan ini bukan sekadar upaya membersihkan pemerintahan, tetapi juga bagian dari upaya membentuk ulang wajah konstitusi Indonesia.

Demokrasi yang Luka

Sayangnya, semua ini menunjukkan satu hal: demokrasi kita masih rapuh. Politik Indonesia saat ini tak ubahnya ajang saling tikung dan saling sandera. Gibran hanya simbol dari kerusakan yang lebih dalam—kerusakan pada institusi hukum, pada sistem rekrutmen pemimpin, dan pada etika kekuasaan.

Tuntutan pemakzulan Gibran bisa berakhir dalam lobi-lobi gelap, atau malah dibuang ke tong sampah sejarah. Tapi yang jelas, publik kembali dibiarkan duduk di kursi penonton, menyaksikan elite bersiasat demi kepentingan mereka masing-masing. Kita telah jauh melenceng dari cita-cita para pendiri bangsa. Demokrasi tidak lagi menjadi alat mencapai kesejahteraan rakyat, melainkan sekadar panggung tawar-menawar kuasa.

Dan bom waktu itu kini berdetak. Kita hanya tinggal menunggu kapan meledak.

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News