NUKILAN.ID | FEATURE – Angin laut pagi itu terasa seperti biasa—sejuk, asin, dan mengirimkan bisikan dari ujung Selat Malaka. Tapi ada yang tak biasa dari langkah kaki para pengunjung yang tiba di pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Mereka tak hanya mencari ketenangan, tapi juga kenangan. Di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan yang anggun dan bersahaja: Masjid Baiturrahim, rumah ibadah yang tak pernah roboh meski lautan pernah mengamuk hebat.
Bagi sebagian orang, ia hanya tempat sujud. Tapi bagi banyak warga Aceh, masjid ini adalah penjaga iman, pelipur lara, dan saksi bisu dari tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah melanda tanah rencong.
Minggu pagi itu, 26 Desember 2004, adalah hari yang tak akan dilupakan siapa pun yang hidup di Aceh. Kota Banda Aceh baru saja terjaga ketika bumi berguncang hebat. Tidak lama kemudian, dinding air setinggi pohon kelapa datang menerjang dari arah laut, melumat kota, menyapu rumah, kendaraan, dan manusia tanpa pandang bulu.
Ulee Lheue, yang dulunya dikenal sebagai kawasan pelabuhan yang padat dan ramai, menjadi ladang puing dan tubuh-tubuh tanpa nyawa. Tapi ada yang tak ikut terseret: Masjid Baiturrahim tetap berdiri.
Kisah tentang masjid ini sebenarnya telah banyak ditulis oleh berbagai penulis, baik dalam artikel maupun jurnal. Letaknya hanya beberapa puluh meter dari garis pantai. Secara logika, bangunan ini seharusnya sudah rata dengan tanah. Namun kenyataannya, masjid itu masih berdiri kokoh, meski terdapat luka-luka kecil di sisi dan bagian belakangnya.
“Salat lima waktu secara berjamaah selalu kami gelar di sini. Bahkan pada hari terjadinya tsunami, kami juga menggelar salat Zuhur berjamaah di sini,” tutur Subhan, pengurus masjid, sebagaimana dalam wawancaranya dengan VOA Islam pada 2013 silam.
Namun, dalam hitungan menit, ketenangan berubah menjadi teror. Gempa dahsyat berkekuatan 9,3 magnitudo mengguncang, disusul gelombang laut setinggi lebih dari 10 meter yang menggulung daratan. Ulee Lheue—yang saat itu dihuni sekitar 6.000 jiwa—rata dengan tanah. Empat dusun hilang. Tapi Masjid Baiturrahim tetap berdiri.
“Hari itu saya melihat Ulee Lheue antara percaya dan tidak. Seperti dalam mimpi. Semua rata dengan tanah, satu-satunya bangunan selamat hanya masjid ini,” kata Subhan.
Ia mengenang bagaimana tiga gelombang menerjang masjid itu. Setiap kali menghantam, gelombang raksasa seperti pecah di dinding masjid. Air laut mengamuk di luar, namun di dalam masjid, air terasa tenang.
“Kondisi air dalam masjid saat itu begitu tenang, orang bisa berenang antara tiang ini ke tiang itu, sementara di luar bergulung-gulung sangat ganas,” ujar Subhan.
Banyak warga yang mencoba menyelamatkan diri dengan naik ke lantai atas masjid. Namun maut tetap mengintai. Namun, dalam berbagai sumber tercatat hanya sembilan orang yang berhasil mencapai atap masjid dan selamat.
Ketika air surut, masjid bersih dari jenazah, hanya satu jasad perempuan tua ditemukan di sudut ruangan. Al-Qur’an dan kitab suci lainnya berserakan dalam kondisi utuh. Bangunan masjid rusak hanya sekitar 20 persen di bagian samping dan belakang, padahal ia dibangun tanpa rangka besi.
Rasa penasaran mendorong penulis menelusuri catatan sejarah digital. Dari situ, penulis menemukan bahwa salah satu dari sembilan orang yang selamat adalah Syarifah Mazura. Dikutip dari KBA.ONE, saat itu ia berusia 40 tahun dan tinggal di sebuah rumah kontrakan yang terletak persis di depan masjid.
“Pagi itu kami semua berlarian ke Masjid Jami’ Baiturrahim Ulee Lheue. Rumah sewaan saya tepat di depan Masjid itu,” ungkap Syarifah.
Ia memeluk ketiga anaknya erat-erat, berharap akan selamat. Namun ombak raksasa datang menghantam seperti ular kobra raksasa. Genggaman itu terlepas. Ketiga anaknya, suami, dan orang tuanya hilang dari pandangan.
“Mereka sempat minta maaf ke saya. Umi, maafin kami kalau ada salah selama ini,” kenang Syarifah, mengulang kalimat terakhir dari sang anak.
Ia sendiri sempat terseret arus. Tubuhnya terapung di sekitar masjid. Seorang pria melihatnya dan mencoba menyelamatkan. Pertama menarik rambutnya, lalu akhirnya berhasil menarik lengannya yang mulai kaku.
“Alhamdulillah saya bisa naik ke atap masjid, kami selamat sembilan orang dan ada anak usia 8 bulan satu orang,” katanya.
Sembilan jam mereka bertahan di atas atap masjid. Ketika air benar-benar surut, mereka berjalan kaki ke kota. Mayat-mayat berserakan di sepanjang jalan.
“Saat itu saya sudah linglung, anak hilang, suami juga sudah tiada. Saya hanya sendiri saat itu,” ujarnya.
Tahun-tahun setelahnya, ia habiskan dalam proses penyembuhan. Kini, ia membangun kembali hidupnya dengan keluarga kecil yang baru. Syarifah kini mengabdikan diri sebagai petugas memandikan jenazah dan guru pengajian ibu-ibu di Ulee Lheue.
“Saya bersyukur bisa selamat, meski sendiri tapi saya coba bangkit lagi,” ucapnya.
Masjid Baiturrahim bukan hanya milik masa kini. Jejak sejarahnya membentang hingga ke abad ke-17, saat Kesultanan Aceh masih berjaya. Dulu ia dikenal sebagai Masjid Jami’ Ulee Lheue, pusat spiritual masyarakat pelabuhan yang dinamis. Peran masjid ini semakin krusial ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda pada 1873, menjadikannya benteng terakhir spiritual umat kala itu.
Bangunan yang berdiri hari ini adalah hasil pemugaran tahun 1923 oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pilar-pilar bergaya Eropa dengan lengkungan khas kolonial menjadi saksi bagaimana arsitektur lokal berbaur dengan sejarah penjajahan. Masjid ini juga pernah diuji oleh gempa besar tahun 1983, yang meruntuhkan kubahnya. Warga tak patah semangat. Mereka membangun kembali atap masjid dengan kayu, sederhana, tapi kokoh oleh niat baik.
Tsunami tahun 2004 hanya merusak sekitar 20 persen bangunan. Meski dibangun tanpa kerangka besi, ia tetap tegak berdiri. Tempo.co mencatat, kitab-kitab suci yang ditemukan berserakan di sekitarnya menjadi bukti betapa dekatnya maut dan mukjizat saat itu.
“Masjid Baiturrahim sangat berharga bagi kami, apalagi setiap hari kami gunakan masjid untuk beribadah, bermusyawarah, dan tempat anak-anak mengaji. Masjid ini juga saksi bisu peristiwa tsunami yang menghancurkan kawasan kami,” kata seorang warga dalam sebuah penelitian di Jurnal Ilmiah.
Dua puluh tahun telah berlalu, namun gema peristiwa dahsyat itu masih hidup dalam ingatan masyarakat. Kini, Masjid Baiturrahim tampil lebih megah setelah dipugar dengan sentuhan arsitektur yang memikat.
Saat kunjungan terakhir Nukilan.id pada pertengahan Februari lalu, masjid ini tampak telah dilengkapi sebuah menara yang menjulang. Bagian depannya menampilkan gaya arsitektur kolonial dengan lengkungan-lengkungan estetis yang khas. Di bagian atap, terdapat sebuah kubah yang berpadu harmonis dengan bentuk limas bertingkat—gaya yang kerap diasosiasikan dengan arsitektur tradisional Nusantara.
Di area luar masjid, berdiri Pusat Informasi dan Galeri Tsunami, sebuah fasilitas yang menyajikan beragam informasi sejarah serta “keajaiban” yang menyelimuti masjid ini. Galeri tersebut menampilkan foto-foto keganasan tsunami Aceh 2004 dan berfungsi sebagai ruang edukasi mitigasi bencana bagi para pengunjung.
Di sisi utara, barat, dan selatan masjid, kini telah kembali dipenuhi oleh permukiman penduduk. Warung makan kecil, toko kelontong, dan berbagai aktivitas harian masyarakat tampak hidup. Anak-anak bermain, orang dewasa berinteraksi, dan lalu lintas kendaraan cukup ramai—semuanya mencerminkan geliat ekonomi dan sosial yang kembali pulih. Area hijau yang tertata turut menambah kesan teduh dan nyaman di sekitarnya.
Sementara itu, sisi timur masjid langsung menghadap ke laut dan Pelabuhan Ulee Lheue, salah satu titik paling sibuk di Banda Aceh. Pelabuhan feri ini merupakan gerbang utama menuju Sabang (Pulau Weh) dan pulau-pulau kecil lainnya, sehingga selalu dipadati oleh penumpang, kendaraan, serta kapal feri yang hilir mudik.
Di sekitar pelabuhan, para pedagang makanan ringan ramai diserbu pengunjung, terutama pada sore hari. Banyak orang datang untuk menikmati pemandangan laut, senja, atau sekadar bersantai. Kawasan ini pun menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kini, masjid ini telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata religi utama di Banda Aceh. Bus-bus pariwisata dari dalam dan luar negeri sering berhenti di pelatarannya. Para pengunjung berjalan perlahan, membaca sejarah, berfoto, dan bertanya-tanya—bagaimana bisa bangunan ini tetap berdiri?
Para pengurus, dengan sabar, menjawab setiap pertanyaan dengan kisah. Dan setiap kisah membawa kita kembali pada hari itu: pada doa yang tak berhenti dipanjatkan, pada air mata yang tak pernah kering, dan pada harapan yang terus menyala meski dunia seperti akan berakhir. (XRQ)
Penulis: Akil