Maraknya Kasus Asusila di Dayah, Gusmawi: Alarm Keras Bagi Aceh

Share

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Aceh kembali diguncang dengan kasus-kasus asusila yang melibatkan pimpinan pondok pesantren atau dayah. Publik dikejutkan oleh beredarnya sebuah video penggerebekan sepasang kekasih yang sedang melakukan hubungan intim di dalam mobil minibus berwarna putih di Pantai Desa Kahad, Kecamatan Teupah Tengah, Simeulue, pada Kamis (11/9/2025).

Pria dalam video tersebut ternyata adalah seorang pimpinan pesantren, Ustaz FAH, yang juga disebut sebagai Ketua Da’i Perbatasan. Peristiwa ini semakin menambah luka publik setelah sebelumnya, pada Selasa (9/9/2025), aparat Satreskrim Polres Aceh Utara menangkap seorang pimpinan dayah berinisial T alias Walid (35) karena diduga melakukan rudapaksa terhadap seorang santriwati berusia 16 tahun.

Dua kasus tersebut sontak menjadi sorotan tajam di ruang publik. Kecaman keras mengalir, tidak hanya dari masyarakat Aceh, tetapi juga dari tingkat nasional. Peristiwa ini turut mendapat perhatian dari Koordinator Wilayah Barat Yayasan P2TP2A Rumoh Putroe Aceh, Gusmawi Mustafa.

“Perbuatan ini bukan hanya tindakan bejat dan melanggar hukum, tetapi juga mencoreng nama baik Aceh sebagai daerah yang menerapkan Syariat Islam. Beratnya perjuangan menjadikan Aceh sebagai role model penegakan syariat tercederai oleh ulah segelintir oknum yang bersembunyi di balik simbol agama,” ujar Gusmawi kepada Nukilan.id pada Rabu (17/9/2025).

Ia menegaskan, pihak yang paling dirugikan dalam peristiwa ini bukan hanya korban, tetapi juga masyarakat luas. Dampak yang paling terasa, menurutnya, adalah rusaknya kepercayaan terhadap institusi pendidikan dayah. Padahal, dayah seharusnya menjadi benteng moral.

“Pondok pesantren seharusnya menjadi benteng moral dan tempat mulia untuk menanamkan akhlak, ilmu agama, dan membentuk karakter generasi penerus bangsa. Namun, ketika pimpinan dayah justru melakukan perbuatan asusila,” jelasnya.

Gusmawi menambahkan, kasus ini tidak hanya melukai korban, tetapi juga menimbulkan trauma kolektif di tengah masyarakat. Publik mulai meragukan keamanan menitipkan anak-anak mereka di lembaga pendidikan tersebut.

“Bagi korban, perbuatan ini adalah luka mendalam yang menghancurkan masa depan. Bagi masyarakat luas, hal ini menimbulkan trauma sosial dan menguatkan stigma bahwa dayah bisa saja menjadi ruang rawan bagi praktik pelecehan seksual,” lanjutnya.

Lebih jauh, Gusmawi menguraikan sejumlah faktor yang diduga menjadi penyebab maraknya kasus asusila di kalangan pimpinan dayah. Pertama, kata dia, adanya kultus individu terhadap pimpinan pesantren atau dayah.

“Pimpinan dayah kerap diposisikan sebagai sosok sempurna dalam bidang agama, sehingga dianggap mustahil melakukan perbuatan tercela. Hal ini membuat masyarakat, bahkan para santri, sulit bersuara atau meragukan perilaku mereka,” ungkapnya.

Selain itu, nilai luhur penghormatan kepada guru sering kali disalahgunakan. Konsep ta’zim kepada guru, menurut Gusmawi, kerap dimanfaatkan untuk kepentingan yang keliru.

“Rasa hormat berlebihan kepada guru (guree) berubah menjadi ‘kartu truf’ bagi pelaku untuk memanipulasi dan melanggengkan aksinya,” katanya.

Faktor ketiga, lanjutnya, adalah rasa takut dari korban maupun keluarga yang sering menjadi penghambat dalam penegakan hukum.

“Santri atau wali santri sering merasa takut dikucilkan, dijauhi masyarakat, atau mendapat tekanan jika berani melaporkan kasus ke ranah hukum,” jelasnya.

Keempat, banyak kasus keji berakhir dengan mediasi internal yang menutup mata dari penegakan hukum.

“Keempat, penyelesaian secara damai. Tidak jarang, kasus-kasus keji seperti ini berakhir dengan mediasi internal, bahkan ‘disapu di bawah karpet’ oleh kalangan dayah sendiri demi menjaga nama baik lembaga,” tegasnya.

Selain itu, minimnya pengawasan eksternal juga menjadi persoalan mendasar. Pesantren yang beroperasi secara mandiri, menurutnya, sering kali luput dari pengawasan yang ketat.

“Kelima, yaitu minimnya pengawasan eksternal. Pondok pesantren yang beroperasi dengan otonomi tinggi kadang kurang terawasi, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun lembaga independen,” imbuhnya.

Atas dasar itu, Gusmawi menekankan bahwa deretan kasus asusila yang terjadi di lingkungan dayah harus menjadi perhatian serius semua pihak. Ia menegaskan bahwa momentum ini seharusnya menjadi pengingat keras bagi seluruh elemen di Aceh.

“Kasus-kasus ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan masyarakat Aceh agar lebih memperhatikan lembaga pendidikan agama,” tutupnya. (xrq)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News