NUKILAN.id | Feature – Pada suatu hari di pertengahan Juni 1599, dua kapal layar raksasa berbendera Belanda merapat perlahan di pelabuhan Aceh. Dibalik kibaran layar-layar putih itu, tersembunyi ambisi dua bersaudara: Cornelis dan Frederick de Houtman.
Mereka datang bukan hanya membawa rempah-rempah, namun dalam pikirannya juga ada warisan kolonialisme yang perlahan mulai menggerogoti wilayah-wilayah di Nusantara.
Namun petualangan mereka di Serambi Mekah berakhir tragis. Dalam duel satu lawan satu yang tak terlupakan, Cornelis de Houtman tewas ditikam oleh seorang perempuan Aceh, Laksamana Malahayati—sosok yang kemudian diakui sebagai laksamana perempuan pertama di dunia.
Kedatangan yang Disambut Baik, Berakhir Berdarah
Dari Banten ke Madura, lalu Bali hingga akhirnya menyambangi Aceh, pelayaran de Houtman bersaudara merupakan bagian dari upaya agresif Belanda mencari pusat rempah-rempah di wilayah timur.
Namun alih-alih membangun hubungan harmonis, ekspedisi mereka justru menyisakan pertikaian demi pertikaian dengan masyarakat setempat.
Kisah tentang Laksamana Malahayati telah banyak ditulis oleh berbagai penulis, di antaranya Maya M.A. Ananda, Endang Moerdopo, dan Ismail Sofyan.
Dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah karya Ismail Sofyan, disebutkan bahwa pada awalnya masyarakat Aceh menyambut kedatangan orang-orang Belanda dengan cukup baik.
Pada masa itu, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589–1604) masih membuka peluang diplomasi dengan bangsa asing.
Namun, penulis buku ini menguraikan, situasi berubah dengan cepat akibat sikap arogan para awak kapal Belanda, yang diperparah oleh hasutan seorang Portugis yang dipercaya oleh Sultan.
Benih-benih ketegangan tumbuh diantara kesultanan dan tamunya dari Eropa. Tak lama kemudian, perintah dari istana keluar: dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, harus diusir.
Dan yang ditugaskan untuk menjalankan operasi itu adalah seorang perempuan yang jauh dari stereotip kebanyakan: Keumalahayati, atau yang lebih dikenal sebagai Laksamana Malahayati.
Dari Putri Istana Menjadi Panglima Laut
Penulis merasa penasaran siapa sebenarnya wanita ini. Ketika membolak balik buku sejarah, penulis menemukan catatan siapa sebenarnya wanita tangguh dari ujung barat pulau Sumatera ini.
Laksamana ini terlahir dari keluarga bangsawan militer, darah kepahlawanan mengalir deras dalam diri Malahayati. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah cucu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah—pendiri Kesultanan Aceh.
Sejak belia, Malahayati menunjukkan minat lebih pada dunia militer ketimbang kehidupan keraton yang penuh hiasan.
Ia merupakan alumnus Mahad Baitul Makdis, akademi militer Kesultanan Aceh yang kala itu bekerja sama dengan ahli-ahli strategi militer dari Turki Utsmani. Di sanalah kemampuan tempurnya diasah hingga matang.
Setelah suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru, Malahayati justru menapaki karier yang semakin tinggi di medan perjuangan.
Atas jasanya, Sultan Alauddin mengangkatnya menjadi Komandan Istana Darud-Dunia, sebelum kemudian dipercaya sebagai Laksamana Laut.
Dalam novel Laksamana Malahayati Sang Perempuan Keumala karya Endang Moerdopo, Malahayati disebut-sebut sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai laksamana laut, tidak hanya di Nusantara, tetapi mungkin juga di dunia.
Barisan Janda Penjaga Lautan
Kepemimpinan Malahayati bukan hanya soal strategi laut dan keberanian pribadi. Ia juga pemimpin spiritual dan emosional bagi ratusan perempuan yang kehilangan suami dalam peperangan.
Bersama mereka, ia membentuk pasukan Inong Balee—barisan janda pemberani yang rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan tanah air.
Pasukan Inong Balee bermarkas di Teluk Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar. Di puncak bukit, mereka mendirikan benteng pengintai yang memantau lalu lintas kapal di Selat Malaka.
Dari sanalah mereka melihat dua layar besar yang membawa Cornelis dan Frederick memasuki wilayah Aceh.
Duel di Atas Kapal
Pertempuran pun tak terelakkan. Pada 21 Juni 1599, armada Malahayati menyerang kapal-kapal Belanda. Pertempuran berlangsung sengit. Di tengah kepungan pasukan perempuan bersenjata, Cornelis de Houtman tetap memilih bertahan di kapalnya.
Namun tak ada pelaut yang bisa melawan tekad seorang laksamana yang kehilangan suami dalam perang. Malahayati memimpin langsung pengepungan.
Ia melompat ke kapal Cornelis, dan terjadi duel yang kelak dikenang dalam sejarah.
Bersenjatakan pedang, Cornelis mencoba menahan gempuran. Tapi di tangan Malahayati, rencong Aceh menari seperti kilat. Dalam satu tusukan cepat dan presisi, rencong itu mengakhiri hidup Cornelis de Houtman.
Tanggal 11 September 1599 menjadi saksi bisu tewasnya Cornelis de Houtman di tangan seorang perempuan Aceh.
Siapa sangka, Malahayati—Laksamana perempuan pertama di dunia—menjadi ‘Malaikat Maut’ bagi sang penakluk dari Barat.
Frederick, yang lebih beruntung, ditangkap hidup-hidup dan dipenjara. Belanda pun sementara waktu harus menerima kekalahan telak di Serambi Mekah.
Warisan Abadi di Bukit Krueng Raya
Kisah heroik Laksamana Malahayati turut diabadikan oleh penulis asal Belanda, Marie van C. Zeggelen, dalam bukunya yang berjudul Oude Glorie. Hingga kini, nama Malahayati tetap harum dan dikenang oleh rakyat Aceh sebagai simbol keberanian dan keteguhan seorang perempuan pejuang
Ia bukan hanya laksamana pertama, tapi juga simbol perlawanan perempuan terhadap kolonialisme.
Jenazahnya dimakamkan di kaki Bukit Krueng Raya, di dekat pangkalan militer yang dahulu menjadi tempat pelatihan pasukannya.
Di sana, laut masih bergemuruh, ombak seakan menyanyikan lagu keberanian dari masa lalu.
Ada catatan sejarah yang berhadil Nukilan dapatkan, lebih dari empat abad kemudian, pada 6 November 2017, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Malahayati. Sebuah pengakuan atas jasa-jasanya yang melampaui zaman.
Kini, bila menyebut nama-nama pahlawan perempuan dari Aceh, kita tidak hanya mengenal Cut Nyak Dien atau Cut Meutia.
Di ujung senarai itu, berdiri pula seorang laksamana wanita, dengan rencong di tangan dan keberanian di dada—Laksamana Malahayati. (XRQ)
Penulis: AKil