Makan Bergizi Gratis buat Kroni

Share

NUKILAN.id | Opini – Program makan bergizi gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto menyisakan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Diluncurkan secara nasional pada 6 Januari 2025, program ini digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak Indonesia. Namun, realisasi di lapangan justru menunjukkan ironi: makanan tidak layak konsumsi, vendor gulung tikar karena tak dibayar, dan pelaksanaan yang minim transparansi serta penuh konflik kepentingan.

Dengan anggaran fantastis sebesar Rp71 triliun, program ini sedianya menjangkau 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun. Namun, fakta menunjukkan bahwa anggaran sebesar itu pun hanya cukup hingga pertengahan tahun, menyisakan kekhawatiran akan kelanjutan program. Lebih jauh, pembengkakan anggaran berisiko menambah beban fiskal dan memicu peningkatan pungutan pajak bagi rakyat.

Konsistensi Prabowo dalam menjalankan program ini mengingatkan kita pada pernyataannya dalam pidato Maret 2025: “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Ia tampak bergeming atas kritik, baik dari pakar gizi, aktivis antikorupsi, hingga masyarakat luas. Tapi, apa jadinya jika kafilah berjalan sambil membawa beban bobrok administrasi, perencanaan yang lemah, dan distribusi yang amburadul?

Kritik terhadap program ini bukan tanpa alasan. Banyak pihak menyoroti bahwa MBG tidak disiapkan dengan saksama. Tidak seperti kebijakan serupa di negara-negara maju seperti Jepang, Finlandia, atau Tiongkok, di mana pelibatan publik dan proses perencanaan berlangsung secara terbuka dan terukur, MBG justru lahir secara top-down. Tidak ada konsultasi publik. Tidak ada koordinasi antarlembaga. Bahkan, pengambilan keputusan tampak semata-mata bertumpu pada kehendak presiden.

Lebih mengkhawatirkan, pelaksanaan MBG mengandung aroma kuat nepotisme dan konflik kepentingan. Investigasi menemukan bahwa sejumlah yayasan mitra Badan Gizi Nasional memiliki kedekatan langsung dengan Presiden Prabowo dan lingkaran politiknya. Yayasan Gerakan Solidaritas Nasional, misalnya, dikelola oleh tokoh-tokoh dekat Prabowo, termasuk anak dan adiknya. Ada pula Yayasan Prabu Center 08 yang melibatkan staf khusus Menteri Pertahanan, serta Yayasan Bosowa Bina Insani milik keluarga pengusaha dan elite politik.

Kemitraan semacam ini bukan sekadar persoalan etika. Ketika proyek makanan untuk rakyat dikelola oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, maka potensi penyimpangan makin besar. Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan menerima laporan bahwa sejumlah mitra MBG menurunkan harga per porsi dari Rp10.000 menjadi Rp8.000 demi keuntungan pribadi, bahkan menyerahkan pekerjaan ke pihak ketiga tanpa kejelasan kualitas. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi bisa masuk ke ranah korupsi sistemik.

Laporan juga menyebutkan adanya makanan basi dan tak layak konsumsi. Di satu sisi, anak-anak dipaksa mengonsumsi makanan seadanya, di sisi lain pihak-pihak yang ditunjuk secara sepihak memanen keuntungan. Jika ini bukan persekongkolan elit, lalu apa?

Jika Prabowo benar-benar ingin mewujudkan visinya tentang gizi anak bangsa, maka jalan pintas bukan jawabannya. Program MBG harus segera dihentikan untuk dievaluasi secara menyeluruh. KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan wajib turun tangan. Audit harus dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari perencanaan, distribusi, hingga pencairan anggaran.

Jika hendak dilanjutkan, program ini harus dibangun ulang dari titik nol. Pemerintah perlu menyusun perencanaan dengan matang, melibatkan para ahli, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan tentu saja perwakilan dari masyarakat penerima manfaat. Pendanaan harus dikaji ulang agar tidak menjadi beban fiskal yang mencederai sektor lain. Sebab, tak ada gunanya anak makan gratis di sekolah jika orang tuanya di rumah kehilangan pekerjaan karena industri tumbang akibat anggaran negara yang terserap ke program populis yang ugal-ugalan.

Dalam demokrasi, kebijakan publik seharusnya menjadi ruang partisipasi, bukan alat balas jasa politik. MBG, jika terus dijalankan dalam model saat ini, bukan hanya gagal memenuhi tujuannya, tapi juga bisa menjadi preseden buruk bahwa kekuasaan bisa digunakan untuk memperkaya handai tolan.

Program makan bergizi gratis seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan anak-anak Indonesia yang lebih sehat dan kuat. Tapi jika yang terjadi justru pesta anggaran oleh elite dan kroni, maka saatnya rakyat bersuara: hentikan! Jangan biarkan anak-anak kita jadi korban dari ambisi politik yang lapar kekuasaan, tapi miskin perencanaan. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News