NUKILAN.id | Banda Aceh – Makam Syiah Kuala, tempat peristirahatan terakhir seorang ulama kharismatik di Aceh, kini menjadi salah satu tujuan ziarah yang ramai dikunjungi oleh peziarah lokal dan mancanegara. Berlokasi di Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, makam ini dapat dicapai dalam waktu sekitar 15 menit dengan jarak kurang lebih 8 kilometer dari pusat kota.
Tengku Abdullah Wahid, penjaga makam, menuturkan bahwa makam ini adalah tempat persemayaman seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah yang namanya termasyhur di berbagai penjuru.
“Syiah Kuala bukanlah nama asli beliau, karena tinggal di kampung Kuala maka diberi julukan Syiah Kuala. Nama asli beliau adalah Tengku Haji Syekh Abdurrauf bin Ali Alfansury As Singkili,” jelas Abdullah kepada Nukilan.id, Minggu (7/7/2024).
Syekh Abdurrauf lahir di Singkil pada tahun 1001 Hijriyah (1591 Masehi) dan wafat pada 23 Syawal 1106 Hijriyah (1696 Masehi) dalam usia 105 tahun. Ayahnya, Syekh Ali Al Fansuri, dan saudaranya, Hamza Al Fansuri, berasal dari Arab dan kemudian menetap di Aceh. Syekh Abdurrauf menjadi khadhi malikul adil pada masa Ratu Safiatuddin di Kerajaan Aceh Darussalam selama 59 tahun, melanjutkan jabatan tersebut setelah salah satu anak laki-laki Sultan Iskandar Muda dihukum mati.
Selama hidupnya, Syiah Kuala menjabat sebagai khadi di empat masa pemerintahan ratu, yaitu Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1645 M), Sultanah Naqiatuddin Syah (1675-1678 M), Sultanah Zakiatuddin Syah (1678-1688 M), dan Sultanah Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M). Beliau juga merupakan satu-satunya ulama yang menerjemahkan Al-Qur’an 30 juz pada masa itu dan membuat kitab hukum sebagai pedoman Kerajaan Aceh.
“Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala” adalah hadih majah yang menggambarkan kedudukan Syiah Kuala, di mana adat istiadat mengikuti Po Teumeureuhom dan hukum mengikuti Syiah Kuala. Kecintaannya terhadap ilmu dan pendidikan membuatnya mendirikan dan mengelola beberapa dayah di Aceh, hingga namanya diabadikan menjadi nama universitas terkemuka di Aceh, Universitas Syiah Kuala.
Pengunjung tidak dipungut biaya apapun untuk memasuki wilayah makam yang berdekatan dengan pantai ini. Selain berziarah, pengunjung juga bisa menikmati keindahan panorama laut di bibir pantai Syiah Kuala. Di area makam terdapat tempat kenduri, masjid, musalla, dan sumur yang airnya sering dibawa pulang oleh pengunjung.
“Air sumur ini sudah ada sejak zaman Syiah Kuala. Banyak yang mengambil air untuk obat, tetapi kita harus yakin kepada Allah, bukan kepada air tersebut. Kebanyakan yang mengambil adalah orang dari jauh,” tambah Abdullah.
Jumlah pengunjung bisa mencapai 200 orang per hari pada hari biasa, dengan berbagai tujuan seperti melepaskan nazar, berdoa, dan membaca Yasin.
“Kami membantu tamu-tamu yang datang sesuai kebutuhan mereka, menyediakan fasilitas untuk berdoa, kenduri, dan lainnya tanpa memungut biaya,” tutup Abdullah.
Makam Syiah Kuala bukan hanya tempat peristirahatan seorang ulama besar, tetapi juga menjadi saksi bisu sejarah dan kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya dan spiritual Aceh. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah