NUKILAN.id | Feature – Aceh merupakan sebuah daerah yang diketahui menjadi gerbang awal menyebarnya Islam di tanah Nusantara. Tak heran, provinsi paling ujung barat Indonesia itu memiliki banyak tokoh ulama yang menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya Syekh Abdurrauf bin Ali Alfansuri atau lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala.
Pada zamannya, Syekh Abdurrauf dikenal sebagai salah satu dari empat ulama terkemuka yang pernah ada di Aceh, selain Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin ArRaniry.
Dilihat dari keterangan yang tertera pada papan informasi di depan makamnya, Syekh Abdurrauf lahir pada tahun 1591 M (1001 H). Sementara, sejumlah ahli sejarah lainnya memperkirakan bahwa ia lahir sekitar tahun 1615 M (1035 H) di Singkil, sebuah daerah yang terletak di ujung selatan pantai barat Aceh.
Sebagai manusia yang memiliki pertalian darah dengan Syekh Hamzah Fansuri, seorang ulama terkemuka saat itu, Syekh Abdurrauf tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama besar di Aceh. Kala itu, negeri berjuluk Serambi Mekah ini sedang berada dalam puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Dirangkum dari berbagai literatur, sekitar tahun 1643 M (1064 H), Syekh Abdurrauf berangkat ke negeri Arab untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan agamanya. Pada masa tersebut, Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin. Saat itu, kondisi Aceh sedang mengalami kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.
Abdurrauf tidak segera langsung menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Guran, tafsir, hadits, figh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu, yakni tasawuf dan tharigat.
Setelah 19 tahun belajar dan memperdalam ilmu agama di negeri Arab, Syekh Abdurrauf pun kembali ke Aceh, dan meneruskan ilmu agama yang dikuasainya kepada masyarakat. Penguasaan ilmu agama yang dimiliki Syekh Abdurrauf membuat Kerajaan Aceh Darussalam mengangkatnya sebagai Kadi Malikul Adil kala itu. Tercatat, beliau mengemban amanah ini selama 59 tahun dibawah 4 orang pemerintahan ratu, Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675 m), Ratu Naqiatuddin Syah (1675-1678 m), Ratu Zakiatuddin Syah (1678-1688 m), Ratu Kamlat Syah (1688-1699 m).
Menjelang akhir hayatnya, Syekh Abdurrauf mengabdikan ilmunya dengan mengajar para santri di muara Krueng Aceh atau Kuala. Wafat dan dikebumikan di tempat yang sama, tepatnya di Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, membuat nama Syekh Abdurrauf juga dikenal dengan sebutan Syiah Kuala. Kini, namanya telah diabadikan menjadi nama sebuah kampus jantung hati masyarakat Aceh, Universitas Syiah Kuala.
—————-
Keriput di wajahnya menunjukkan pria ini telah cukup renta. Nada bicaranya pelan dan nyaris tak terdengar, namun penulis masih mampu mencerna dengan baik kata demi kata yang terucap dari mulutnya.
Ia adalah Tgk Wahid, juru kunci makam Syech Abdurrauf. Saat itu, Selasa, 22 November 2024, penulis berkesempatan mengunjungi pusara Syech Abdurrauf yang terletak di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
“Lon (saya) Baim Teungku. Lon aneuk Pak AD, guru SD 58 yang dilee tom mengajar di sikula nyan (saya anak Pak AD yang dulu pernah mengajar di SD 58),” ucap penulis seraya memperkenalkan diri sembari menjabat tangan Tgk. Wahid.
Raut wajahnya berubah. Dahinya mengernyit. Sikapnya yang semula biasa-biasa saja dan terkesan dingin mendadak sumringah. Tersungging seutas senyum saat penulis menyebutkan nama ‘Pak AD’.
“Oh Pak AD, lon meuturi tat. Teuma gata soe? Aneuk gobnyan? Ka rayeuk tat lagoe. Jameun gata mantong ubeut tat (Oh anak Pak AD. Saya kenal sekali. Lalu kamu siapanya? Anak beliau? Sudah besar sekali sekarang. Dulu kamu kecil sekali),” ujar Tgk. Wahid sembari menepuk pundak penulis. Sebagai informasi , penulis pernah di tinggal di kawasan ini sejak umur 3 tahun hingga berumur 8 tahun.
Setelah itu, proses wawancara pun berlangsung dengan hangat. Alhamdulillah, setelah ‘menjual’ nama Pak AD, Tgk. Wahid menjawab setiap pertanyaan dengan antusias.
Pada awal penjelasannya, Tgk. Wahid mengatakan menjaga dan merawat makam Syekh Abdurrauf merupakan rutinitas yang telah dilakukan keluarganya secara turun temurun.
“Saya sendiri merupakan keturunan ketujuh yang diberikan amanah untuk bertanggung jawab, menjaga, dan merawat makam Syiah Kuala,” tegas Tgk Wahid. Penegasan ini sesuai dengan keterangan yang tertera di papan informasi yang menyebutkan “Khadam Makam Syiah Kuala tidak boleh berpindah tangan dari keturunan Syech Abdul Wahid”.
Tujuan pengunjung di komplek makam Syech Abdurrauf ini bermacam-macam. Ada yang
ingin mengetahui tentang sejarah ulama Syiah Kuala, menggali sejarah masuknya Islam di Indonesia, serta wisata sejarah.
“Yang banyak itu melepas nazar alias ‘peuleuh kaoy’ (istilah ini biasanya diniatkan oleh seseorang setelah apa yang direncanakan atau diinginkan terwujud), dan itu umumnya dilakukan warga lokal,” terang Tgk. Wahid.
Suasana sedang tak ramai saat itu. Hanya ada satu dua pengunjung yang mengunjungi makam ulama Aceh terkemuka ini. Maklum saja, hari mungkin sudah semakin senja, sehingga suasana semakin sepi.
“Biasanya ramai dalam momentum tertentu, misalnya dalam musim panen atau menjelang puasa,” tambah dia.
Komplek makam Syech Abdurrauf ini terlihat sangat terawat. Cat sejumlah bangunan yang didominasi warna putih dan hijau memberi kesan sejuk dan adem. Kenyamanan ini semakin nyata kala mendapati lingkungannya yang bersih dan asri dengan banyaknya pepohonan yang ada di tempat tersebut.
Di beberapa bagian komplek ini dipenuhi dengan puluhan batu nisan. Menurut Tgk Wahid batu-batu nisan tersebut merupakan para tokoh agama terdahulu yang pernah belajar dan berguru kepada Syech Abdurrauf.
“Itu murid-muridnya Syech Abdurrauf,” sebut Tgk Wahid singkat.
Bagi pengunjung yang ingin berdonasi seikhlasnya, di beberapa sudut ruangan tersedia kotak sumbangan. Sumbangan ini sendiri dimanfaatkan pengelola sebagai biaya operasional merawat makam bersejarah ini.
Saat terjadinya tsunami, sempat beredar rumor berbau mistis tentang makam ini. Berkembang cerita, saat air laut merangsek dan menerjang komplek ini, makam sang ulama ‘terangkat’ secara ajaib ke atas sehingga terhindar dari tsunami.
Terkait hal tersebut, Tgk Wahid menegaskan cerita itu hanya isu belaka. Menurutnya, saat tsunami terjadi tempat ini hancur berantakan dan rata dengan tanah.
“Kecuali makam Syech Abdurrauf yang tidak hancur. Posisi makam tidak berubah, hanya batu nisannya yang miring sedikit, yang lain berantakan semua,” ungkap Tgk. Wahid.
Pasca tsunami, komplek makam dibangun dan dipugar kembali oleh pemerintah daerah dan sejumlah pihak lainnya.
Kepada pengunjung yang mengunjungi makam ulama termasyhur ini, Tgk. Wahid berpesan agar menjaga etika dan kesopanan, serta tatacara berpakaian.
“Jangan melakukan hal-hal yang menyimpang dari syariat. Gunakan pakaian yang sopan dan islami. Kalau mau buat kenduri, buatlah kenduri yang biasa saja, jangan berlebihan,” pesan Tgk. Wahid.
Selain itu Tgk Wahid berharap agar seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah serta pengunjung, agar memberi atensi khusus terhadap keberadaan makam ini.
“Mari kita rawat pusara beliau, termasuk perhatian pemerintah daerah agar tempat ini terus terpelihara dan terurus dengan baik,” imbuh Tgk. Wahid.
Penulis: Boim