Mahasiswa UNNES Ciptakan Alat Pemantau Longsor untuk Daerah Terpencil

Share

Nukilan.id – Tanah longsor hingga saat ini masih menjadi salah satu bencana alam dengan momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi penduduk yang tinggal di wilayah pelosok.

Betapa tidak? Jika bencana tersebut terjadi pada daerah yang sudah memiliki pembangunan infrastruktur memadai, mungkin tindakan evakuasi bisa dilakukan dengan cepat. Namun hal berbeda pasti akan dihadapi jika longsor terjadi di wilayah terpencil dengan akses jalan terbatas, dan saluran komunikasi yang belum memadai pula.

Jangankan untuk mendapatkan tindak evakuasi, untuk sekadar menyampaikan adanya bencana longsor ke pihak terkait dalam waktu cepat saja mungkin rasanya masih sukar dilakukan. Hal tersebut yang membuat Havid Adhitama, seorang mahasiswa asal Universitas Negeri Semarang (UNNES) berinovasi menggarap sebuah alat pemantau longsor yang dapat diandalkan di wilayah pelosok.

Berangkat dari pengalaman pribadi

Bukan berasal dari jurusan teknik atau sejenisnya, Havid Adhitama sendiri sebenarnya diketahui merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di UNNES. Meski begitu, hal tersebut tidak menghalangi niatnya untuk berinovasi.

Mengapa harus alat pemantau longsor? Ternyata hal tersebut berangkat dari pengalaman pribadinya yang pernah mengalami musibah terkena bencana serupa. Tidak sendiri, dalam mengembangkan alat pendeteksi tersebut Havid juga dibantu oleh teman-temannya.

Mengenai konsep, Havid mengaku jika pembentukan alat pemantau yang dimaksud terinspirasi dari satelit LoRA, yang kemudian diberi nama LSDR (Landslide Data Recorder). Mulai digunakan, kini alat pendeteksi longsor tersebut diketahui sudah terpasang di Desa Tempuran, Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Dapat diandalkan tanpa jaringan internet

Karena terinspirasi dari cara kerja satelit LoRA, Havid menjelaskan jika alat pendeteksi tersebut dapat mengirimkan data daerah terpencil sekalipun tidak memiliki jaringan atau koneksi internet.

“Kami mengadopsi cara kerja (LoRA) untuk diterapkan pada medan terestrial. Satelit terestrial ini dapat mengirimkan data pemantauan dari lokasi terpencil tanpa memiliki ketergantungan pada jaringan internet,” jelas Havid.

Lebih lanjut, menurutnya sejumlah data yang bisa dipantau dari alat tersebut dapat berupa kemiringan tanah, pergerakan tanah, kejenuhan tanah, intensitas hujan, suhu, dan kelembapan udara.

Dari data-data yang diperoleh, menurut Havid pemantauannya dapat dilakukan melalui web, dan bisa diinterpretasikan oleh intansi terkait untuk untuk menentukan langkah yang tepat dalam mitigasi bencana tanah longsor di Banjarnegara.

“Ketika data ini diolah dengan tepat maka bukan tidak mungkin potensi longsor bisa diprediksi secara akurat, sehingga masyarakat yang berpotensi terdampak bisa menyelamatkan diri,” tambahnya lagi.

Berinovasi di wilayah berstatus 3T

Konsep inovasi yang dihadirkan oleh Havid kali ini rupanya bukanlah yang pertama, cara kerja dengan bentuk mengandalkan data yang dikirim tanpa sinyal internet rupanya memang berangkat dari kondisi di desa terkait yang masuk kategori wilayah 3T (terluar, tertinggal, dan terpencil).

Sebelum menggarap alat pendeteksi satelit, Havid juga telah mencoba untuk memberikan pembelajaran bagi salah satu sekolah di wilayah tersebut, yang sama sekali tidak memiliki akses komunikasi ke dunia luar.

Padahal, menurutnya dalam proses pembelajaran dibutuhkan kehadiran akses komunikasi untuk mendapat bahan belajar secara digital.

“Di sini sinyal untuk akses internet tidak ada, jangankan internet, untuk SMS saja tidak bisa. Siswa dan guru kesulitan untuk berkomunikasi dan mengakses media dari daerah lain,” terang Havid, mengutip Times Indonesia.

Akhirnya akibat kondisi tersebut, tenaga pengajar atau guru yang ada harus ke luar daerah dengan akses jalan yang sulit agar dapat mengambil bahan pembelajaran di kelas.

Masih bersama rekan sesama mahasiswa, Havid akhirnya lebih dulu membuat terobosan berupa perangkat untuk berkirim media pembelajaran melalui mode SSTV. Sedikit mendapatkan bantuan, dalam menggarap perangkat tersebut ia berkoordinasi dengan LAPAN untuk diberikan slot khusus SSTV Satelit.

“LAPAN sangat mendukung gagasan kami. Sehingga dapat menerima media tersebut di lokasi kami mengajar, sedangkan pengirimnya berada di Jakarta,” jelasnya.

Diungkap Havid, sebenarnya fitur satelit seperti itu lazimnya digunakan untuk komunikasi darurat dalam kebencanaan di Indonesia. Tetapi karena situasi 3T dan akses yang tidak memungkinkan, akhirnya mereka diberikan izin oleh LAPAN untuk mencoba fasilitas satelit tersebut untuk bidang pendidikan.

“Ke depan guru yang mengajar di sini tidak lagi kesulitan untuk mendapatkan selembar LK (lembar kerja) ataupun bahan ajar,” pungkas Havid. [GNFI]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News