Mafia Peradilan: Virus yang Terus Beregenerasi

Share

NUKILAN.id | Opini – kandal demi skandal di tubuh Mahkamah Agung (MA) menggambarkan bagaimana mafia peradilan terus bertahan dan beregenerasi. Ibarat virus, ia menyusup ke dalam sistem hukum, memanfaatkan celah kelemahan pengawasan dan politik, menjadikan institusi tertinggi penegakan hukum di negeri ini sebagai ladang subur korupsi. Terbaru, publik kembali dikejutkan dengan penangkapan Jarov Richard, mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA. Ia diduga kuat menjadi makelar kasus dengan jaringan yang mencengkeram seluruh tingkatan pengadilan.

 

Kasus ini tidak hanya memalukan, tetapi juga menyedihkan. Bayangkan, hukuman seorang terdakwa pembunuhan seperti Gregorius Ronald Tanur bisa dinegosiasikan dengan uang suap. Bahkan, hukuman kasasi yang jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa sengaja dijatuhkan untuk memancing pengacara terdakwa mengajukan peninjauan kembali (PK). Sebuah trik kotor untuk mengeruk lebih banyak uang suap. Penemuan uang tunai hampir satu triliun rupiah di rumah Jarov Richard seolah menjadi bukti betapa dalam dan sistemiknya praktik mafia peradilan ini.

Sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum MA, posisi Jarov sangat strategis. Ia memiliki kuasa besar untuk memutasi, mendemosi, atau mempromosikan hakim. Kewenangan ini membuatnya menjadi pusat kendali dalam mengatur putusan hukum yang disesuaikan dengan pesanan. Modusnya tidak hanya sebatas pengaturan hukuman dalam kasasi atau PK, tetapi juga diduga mencakup suap dari hakim-hakim yang ingin naik jabatan.

Namun, Jarov bukanlah aktor tunggal. Kasus rekayasa putusan kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam Inti Dana di Semarang menunjukkan bahwa mafia peradilan ini melibatkan banyak pihak, termasuk Hakim Agung Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh. Fakta ini menguatkan asumsi bahwa lingkaran setan mafia peradilan di MA telah mengakar begitu dalam.

Upaya reformasi hukum di Indonesia telah berlangsung selama beberapa dekade, tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membentuk Satuan Tugas Anti-Mafia Hukum pada 2004 hingga saat ini, mafia peradilan tetap eksis. Bahkan, pergantian pucuk pimpinan MA tidak membawa perubahan signifikan. Ketua MA yang baru, Sunarto, juga terseret dalam dugaan penyelewengan honor penanganan perkara, menunjukkan bahwa upaya pembersihan dari dalam sulit diharapkan.

Lebih ironis lagi, undang-undang yang seharusnya memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi Hakim Agung justru dilumpuhkan oleh gugatan MA ke Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, KY kini hanya berfungsi sebagai penerima aduan tanpa kemampuan untuk menghukum. Sementara itu, Badan Pengawasan MA—satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menindak—hampir tidak pernah menghasilkan laporan berarti.

Masalah mafia peradilan bukan hanya persoalan teknis hukum, tetapi juga erat kaitannya dengan politik. Penegakan hukum yang adil membutuhkan sistem politik yang bersih, tetapi demokrasi prosedural yang penuh manipulasi justru menyuburkan praktik korupsi. Dalam konteks ini, mengharapkan DPR untuk merevisi undang-undang KY agar memiliki kewenangan penuh terhadap pengawasan hakim adalah pekerjaan sia-sia. Proses legislasi di parlemen kerap kali menjadi arena perebutan kepentingan politik dan ekonomi.

Pertama, diperlukan pembersihan besar-besaran di tubuh MA. Semua hakim dan pejabat di MA yang terindikasi terlibat harus dicopot dan digantikan dengan sosok-sosok baru yang bersih dan berintegritas. Kedua, revisi undang-undang KY menjadi kebutuhan mendesak. KY harus diberi wewenang penuh untuk mengawasi semua hakim, termasuk Hakim Agung, dengan kemampuan untuk memberikan sanksi.

Ketiga, perlu ada reformasi sistem politik secara menyeluruh. Sebab, akar dari mafia peradilan adalah hubungan simbiosis antara kekuasaan politik dan institusi hukum. Selama politik masih kotor, hukum hanya akan menjadi alat legitimasi bagi kepentingan tertentu.

Namun, semua ini membutuhkan keberanian politik yang besar. Membangun sistem hukum yang adil ibarat menanam padi di atas batu jika sistem politik tetap seperti sekarang. Apakah kita masih memiliki harapan? Jawabannya ada pada kita semua, masyarakat yang terus mengawasi dan menuntut perubahan. Sebab, jika tidak, virus mafia peradilan akan terus beregenerasi, menggerogoti keadilan hingga tidak ada lagi yang tersisa.

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News