NUKILAN.ID | TAPAKTUAN — Aroma intervensi kekuasaan menyeruak di lingkungan Madrasah Ulumul Qur’an (MUQ) Aceh Selatan. Lembaga pendidikan berbasis agama yang dikenal dengan ketegasan disiplin dan nilai moral kini tengah diguncang isu pemecatan sepihak, dugaan penyalahgunaan wewenang, dan krisis integritas pejabat publik.
Dikutip dari larasnews.com, polemik bermula dari keputusan Koordinator Pengasuhan MUQ, Ustaz M. Andri Fikri, yang menjatuhkan sanksi kepada seorang santri berinisial FF karena melanggar sejumlah aturan asrama. Santri tersebut disebut sering terlambat ke sekolah, keluar malam tanpa izin, membawa telepon genggam, berkomunikasi dengan santriwati, serta enggan mengikuti shalat berjamaah dan program murajaah Al-Qur’an.
Namun langkah disiplin itu justru berujung pada pemberhentian Ustaz Andri melalui surat keputusan bernomor 451/166/2025. Belakangan diketahui, santri yang disanksi adalah anak Plt. Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh Selatan, Salmi, pejabat yang membawahi lembaga tersebut.
Kesaksian Guru dan Dugaan Intervensi
Seorang guru asrama SMA MUQ mengaku turut menjadi korban ketidaktegasan dalam kasus ini. Ia menyebut sempat mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari santri berinisial FF dan keluarganya.
“Kamar saya sempat dilempar oleh yang bersangkutan. Dia berteriak-teriak memanggil nama saya dengan keras. Saat kami sampaikan kepada Plt. Kadis Dayah, beliau hanya menjawab, Anak saya memang begitu, kembalikan saja HP-nya ke dia. Saya menegakkan disiplin ini karena masih sayang dan peduli pada santri MUQ. Kalau ini dilonggarkan, hilang wibawa kami dan dianggap remeh oleh santri,” terangnya, Minggu (19/10/2025).
Menurutnya, tak ada wali santri lain yang menentang penegakan aturan tersebut, kecuali pihak keluarga FF. Hal itu semakin memperkuat dugaan adanya intervensi pribadi dalam urusan lembaga.
Komite: Nama Kami Dicatut Tanpa Sepengetahuan
Ketua Komite SMA MUQ Aceh Selatan, Herman, turut buka suara. Ia mengaku keberatan karena nama Komite dicantumkan dalam surat keputusan pemecatan tanpa sepengetahuan mereka.
“Nama Komite dicantumkan dalam surat itu tanpa sepengetahuan kami. Kami kecewa dengan Plt. Kadis Pendidikan Dayah Aceh Selatan dan Kepala UPTD MUQ. Kami keberatan, karena seolah-olah Komite ikut menyetujui keputusan yang tidak pernah kami bicarakan,” ujarnya tegas.
Herman menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran etika administrasi dan dapat menyesatkan publik. Ia menyerukan agar semua pihak, termasuk pejabat, menaati aturan yang berlaku tanpa pandang bulu.
“Kami ingin semua pihak mengikuti koridor yang ada, supaya marwah dan nama baik MUQ tetap terjaga. Jangan biarkan jabatan menginjak kebenaran,” tambahnya.
Dicopot, Lalu Dikembalikan
Meskipun surat pemecatan Ustaz Andri diterbitkan pada 10 Oktober 2025, enam hari kemudian Plt. Kadis Dayah mengeluarkan surat baru yang mengembalikan jabatan Koordinator Pengasuhan dan Koperasi MUQ dengan alasan telah dilakukan kajian ulang berdasarkan masukan berbagai pihak.
Namun, suasana internal dikabarkan berubah drastis. Beberapa guru dan pengasuh kini enggan bersikap tegas kepada santri karena khawatir mengalami nasib serupa.
“Kalau setiap teguran bisa berujung pencopotan, bagaimana mungkin kami menjaga disiplin?” ungkap seorang ustaz yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Minim Dukungan dan Konflik Kepentingan
Dari sekitar 230 santri, hanya satu satpam yang aktif menjaga asrama. Sementara, Rencana Anggaran Biaya (RAB) masih menggunakan acuan tahun 2015 dan belum pernah diperbarui.
“Kami bekerja dengan tanggung jawab, tapi tanpa dukungan dan perlindungan yang memadai. Dan sekarang, yang menegakkan aturan malah disingkirkan,” tutur Ustaz Andri.
Secara etika pemerintahan, keterlibatan langsung Plt. Kadis Dayah dalam keputusan yang menyangkut anak kandungnya sendiri mengandung konflik kepentingan (conflict of interest). Prinsip dasar objektivitas pejabat publik menuntut agar setiap pengambil kebijakan menjauh dari perkara yang berpotensi menimbulkan bias pribadi, apalagi yang berdampak langsung pada jabatan dan keluarganya.
Kasus ini bukan hanya soal disiplin santri, melainkan ujian bagi integritas dan profesionalitas lembaga pendidikan Islam di Aceh Selatan — apakah aturan bisa tegak di atas semua nama, termasuk nama pejabat.