NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Isu tambang ilegal di Aceh kembali menjadi sorotan tajam. Setelah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, mengeluarkan ultimatum agar seluruh alat berat di tambang emas ilegal segera ditarik dari hutan, desakan kini datang dari Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Umar Hakim Ilhami.
Dalam keterangannya kepada Nukilan.id, Umar meminta DPR Aceh dan aparat penegak hukum (APH) untuk tidak berhenti pada wacana, tetapi membuka ke publik siapa aktor di balik bisnis tambang gelap yang selama ini merusak lingkungan Aceh.
“Rakyat Aceh tidak cukup diberi tontonan ultimatum. Yang harus dibuka ke publik adalah siapa mafia di balik 1.000 ekskavator itu, siapa bekingnya, siapa yang mengatur jaringan distribusi emas dan batu bara ilegal dari Aceh,” tegas Umar, Rabu (1/10/2025).
Sebelumnya, Mualem mengungkapkan data mencengangkan dari laporan Panitia Khusus (Pansus) DPR Aceh bidang mineral, batubara, dan migas. Menurut laporan itu, terdapat 450 titik tambang ilegal tersebar di sejumlah kabupaten, mulai dari Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah, hingga Pidie.
“Khusus tambang emas ilegal, saya beri waktu mulai hari ini, seluruh tambang emas ilegal yang memiliki alat berat harus segera dikeluarkan dari hutan Aceh,” ujar Mualem, Kamis (25/9).
Namun ultimatum tersebut justru memunculkan reaksi berantai. Umar menilai ada sejumlah kejanggalan yang muncul pasca pernyataan Mualem, salah satunya terkait tindakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang sempat menghentikan sebuah truk berpelat BL (Aceh) di wilayah Langkat pada Sabtu (27/9).
Aksi itu terekam kamera dan menjadi viral di media sosial.
“Kenapa tiba-tiba Gubernur Sumut menghentikan truk Aceh di jalan raya? Aneh sekali. Apa ini kebetulan? Atau sinyal politik-ekonomi dari luar Aceh?” ujar Umar penuh tanya.
Dugaan keterkaitan lintas provinsi ini semakin menguat seiring fakta bahwa Aceh masih bergantung pada pasokan listrik dari Sumatera Utara sebesar 30–40 persen untuk menutup defisit di wilayah timur dan tengah.
Gangguan listrik yang melanda Aceh sejak 29 September hingga tiga hari lebih juga memunculkan tanda tanya. Apalagi, gangguan itu terjadi setelah munculnya langkah tegas Mualem terhadap tambang ilegal.
“Kalau Aceh sampai gelap total, sementara sebagian besar jaringan interkoneksi kita lewat Sumut, logis untuk mempertanyakan: apakah ada faktor kesengajaan? Apakah mafia tambang yang terusik bergerak lewat jalur energi?” sindir Umar.
Pemadaman listrik selama lebih dari 72 jam membuat aktivitas di Aceh lumpuh. Rumah sakit mengandalkan genset, UMKM berhenti produksi, dan masyarakat terpaksa berhemat energi. PLN menyebut gangguan itu berasal dari gangguan sistem di PLTU Nagan Raya dan PLTMG Arun, serta melakukan manajemen beban dengan memprioritaskan fasilitas vital.
Bagi Umar, rangkaian kejadian ini menunjukkan adanya kekuatan besar yang merasa terganggu oleh kebijakan Mualem.
“Ini bukan semata tambang emas ilegal. Ini sudah masuk ke lingkaran mafia yang punya akses ke energi, logistik, bahkan politik lintas provinsi,” katanya.
Beberapa fakta yang terungkap di lapangan, menurut Umar, semakin menguatkan dugaan adanya jaringan mafia tambang yang beroperasi lintas Aceh–Sumut. Ia menyebut, skala operasi tambang ilegal di Aceh tidak mungkin berlangsung tanpa dukungan logistik besar dan akses ke jalur distribusi energi yang kuat.
“Operasi 1.000 ekskavator ilegal itu tidak mungkin jalan tanpa suplai BBM besar-besaran. Dan kita tahu, sebagian besar distribusi BBM Aceh selama ini melalui jalur Sumut,” ungkap Umar.
Ia menambahkan, hasil tambang dari berbagai titik di Aceh—mulai dari emas hingga batu bara—diduga kuat mengalir keluar melalui jalur distribusi Medan sebelum masuk ke pasar nasional, bahkan ekspor.
“Kalau mau jujur, rantai pasok hasil tambang Aceh itu arahnya banyak ke Medan, bukan ke dalam provinsi sendiri. Jadi wajar kalau kita curiga ada jaringan besar yang bermain di belakang layar,” katanya.
Keterkaitan antarprovinsi itu, lanjut Umar, juga terlihat dari sistem interkoneksi listrik antara Sumut dan Aceh. Fakta bahwa Aceh masih bergantung pada pasokan listrik dari Sumut sebesar 30–40 persen membuka ruang spekulasi baru, terutama setelah peristiwa blackout selama lebih dari tiga hari.
“Bayangkan, Aceh gelap total setelah Mualem keluarkan ultimatum tambang ilegal. Apakah ini kebetulan? Atau ada pihak luar yang sengaja memainkan tombol energi kita?” ujar Umar dengan nada curiga.
Selain itu, Umar juga menyinggung aksi Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang sempat menghentikan sebuah truk berpelat BL (Aceh) di Langkat dan menjadi viral di media sosial. Menurutnya, insiden tersebut semakin memperlihatkan bahwa persoalan tambang Aceh tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan ekonomi lintas wilayah.
“Kenapa tiba-tiba Gubernur Sumut menghentikan truk Aceh di jalan raya? Aneh sekali. Apa ini kebetulan? Atau sinyal politik-ekonomi dari luar Aceh?” katanya.
Umar menilai, rangkaian peristiwa itu tidak bisa dipandang terpisah. Baginya, ada benang merah yang menghubungkan praktik tambang ilegal, suplai energi, hingga dinamika politik di dua provinsi.
“Semua ini terlihat seperti potongan puzzle yang saling terhubung. Kalau benar ada mafia yang mengatur, maka pertarungan Mualem bukan hanya melawan tambang ilegal, tapi melawan jaringan ekonomi gelap yang terorganisir lintas provinsi,” tutup Umar.
Umar menilai, langkah Mualem bukan sekadar penyelamatan lingkungan, tetapi juga ujian besar menghadapi jaringan mafia tambang yang telah lama berakar di Aceh.
“Kalau gubernur konsisten, ini akan jadi babak baru perlawanan Aceh terhadap perampokan sumber daya. Tapi kalau tidak, rakyat akan melihat semua ini hanya drama sesaat,” ujar Umar.
Kini, sorotan publik tertuju pada DPR Aceh dan aparat penegak hukum. Desakan pun semakin kuat agar mereka berani membongkar tuntas jaringan mafia lintas Aceh–Sumut yang diduga berada di balik 1.000 ekskavator tambang ilegal. (xrq)
Reporter: Akil