NUKILAN.id | Jakarta – Mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Wilayah I pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Akhmad Afif Setiawan, didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa. Proyek ini berlangsung dari Januari 2017 hingga Juli 2019 dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 1,1 triliun.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (15/7/2024), jaksa memaparkan bahwa Afif tidak sendiri dalam kasus ini. Dia didakwa bersama enam orang lainnya dalam berkas dakwaan terpisah. Terdakwa yang hadir pada sidang kali ini termasuk Rieki Meidi Yuwana, Kepala Seksi Prasarana dan Ketua Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Jalur KA Besitang-Langsa periode 2017 dan 2018, serta Halim Hartono, PPK Jalur KA Besitang-Langsa dari Agustus 2019 hingga Desember 2022.
Jaksa menjelaskan bahwa para terdakwa secara bersama-sama telah memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara. Afif diduga menerima keuntungan sebesar Rp 10,59 miliar, sedangkan Rieki Meidi Yuwana mendapatkan Rp 1,03 miliar. Terdakwa lainnya, Nur Setiawan Sidik, yang menjabat sebagai Kepala BTP Sumbagut dari tahun 2016 hingga Juli 2017, memperoleh Rp 3,5 miliar. Amanna Gapapa, Kepala BTP Sumbagut dan Kuasa Pengguna Anggaran dari Juli 2017 hingga Juli 2018, memperoleh Rp 3,29 miliar.
Selain itu, Halim Hartono diduga menerima Rp 28,13 miliar, Arista Gunawan bersama PT Dardela Yasa Guna mendapatkan Rp 12,33 miliar, Fredy Gondowardojo dan PT Tiga Putra Mandiri Jaya memperoleh Rp 64,29 miliar. Total kerugian negara mencapai Rp 1,15 triliun, sebagaimana tercantum dalam Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang-Langsa oleh Balai Teknik Perkeretaapian Medan Tahun 2015-2023.
Jaksa mengungkapkan bahwa kasus korupsi ini terjadi dalam beberapa tahap, mulai dari perencanaan, lelang, hingga pelaksanaan proyek. Jaksa menyoroti bahwa para terdakwa tidak melakukan pengujian lahan dengan benar, sehingga jalur yang telah dibangun ambles dan tidak bisa digunakan. Meski demikian, pembayaran tetap dilakukan kepada para pelaksana proyek.
Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Kasus ini akan terus bergulir dengan persidangan lanjutan yang akan menghadirkan terdakwa lainnya, termasuk Nur Setiawan Sidik, Amanna Gapapa, Arista Gunawan, dan Fredy Gondowardojo. Mereka akan diadili dalam berkas terpisah.
Kasus korupsi ini tidak hanya menyoroti kerugian finansial negara, tetapi juga menunjukkan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek infrastruktur. Pengadilan Tipikor diharapkan dapat mengungkap seluruh kebenaran dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Editor: Akil