Thursday, September 19, 2024
1

Korupsi Beasiswa Aceh 2017: Impian Mahasiswa yang Terhenti di Tangan Pejabat

NUKILAN.id | Indepth – Sidang kasus dugaan korupsi beasiswa Pemerintah Aceh tahun anggaran 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh mengungkap serangkaian fakta mengejutkan terkait skandal yang melibatkan dana sebesar Rp 22 miliar ini. Pada Kamis, 16 Mei 2024, mantan Direktur Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh, Prof. Said Muhammad, memberikan kesaksian yang menimbulkan gelombang kejut di kalangan publik.

Dalam persidangan tersebut, Prof. Said mengungkapkan bahwa nama-nama penerima beasiswa telah ditentukan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tanpa melalui proses seleksi resmi.

“Pada akhir 2016, saya bertemu dengan anggota DPRA Iskandar Usman Al Farlaky di Blang Bintang. Ia menyampaikan bahwa penerima beasiswa sudah ditetapkan, dan kami tidak melakukan seleksi,” jelas Prof. Said di hadapan majelis hakim.

Lebih jauh, Prof. Said menegaskan bahwa ini adalah kali pertama ia menerima “pokok pikiran” (Pokir) dari anggota DPRA terkait beasiswa. Ia menambahkan bahwa BPSDM biasanya melakukan seleksi ketat untuk beasiswa, namun dalam kasus ini, seleksi tersebut tidak dilakukan karena penerima telah ditentukan sebelumnya.

Modus Pemotongan Dana

Sidang lanjutan pada 25 April 2024 semakin menambah kejelasan mengenai skandal ini dengan kesaksian mengejutkan dari tiga mahasiswa penerima beasiswa. Mereka mengungkapkan bahwa dana yang mereka terima jauh di bawah jumlah yang seharusnya mereka terima. MF, mahasiswa S-1 Universitas Almuslim Bireuen, mengaku menerima hanya Rp 5 juta dari total Rp 20 juta.

“Sisanya sebesar Rp 15 juta diberikan kepada pengurus beasiswa sesuai kesepakatan awal,” ungkap MF.

Saksi lainnya, AM, mahasiswa program magister di Mesir, menyatakan bahwa ia hanya menerima Rp 8 juta dari total beasiswa sebesar Rp 50 juta.

“Saya baru tahu jumlah sebenarnya saat penyelidikan,” katanya. Saksi ketiga, MJ, mahasiswa S-1, juga mengaku hanya menerima Rp 5 juta dari beasiswa senilai Rp 20 juta, dengan sisa dana diserahkan kepada terdakwa Suhaimi.

Melibatkan Banyak Pihak

Kasus ini melibatkan Suhaimi sebagai koordinator lapangan dan Dedi Safrizal, mantan anggota DPRA periode 2014-2019, yang keduanya didakwa dalam kasus korupsi ini. Keterlibatan sekitar 21 anggota DPRA dalam dugaan penyelewengan dana beasiswa semakin memperumit kasus ini.

Menurut keterangan saksi Hamid Zain, mantan Sekretaris DPRA, sekitar 25 anggota DPRA mengusulkan nama-nama penerima beasiswa dengan prinsip “by name by address” untuk memastikan pencairan dana sesuai prosedur.

Kronologi Singkat Kasus

Kasus ini bermula dari alokasi anggaran beasiswa Pemerintah Aceh tahun 2017 senilai Rp 22 miliar yang diduga diselewengkan. Beasiswa yang seharusnya melalui proses seleksi ketat malah diatur oleh anggota DPRA melalui mekanisme Pokir, tanpa prosedur yang sah di BPSDM.

Persidangan ini diharapkan dapat mengungkap seluruh aktor yang terlibat serta memulihkan dana yang diselewengkan untuk kepentingan masyarakat Aceh. Dengan terungkapnya modus pemotongan dana beasiswa dan keterlibatan banyak pihak, masyarakat Aceh menantikan hasil persidangan ini dengan penuh harapan agar para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Sidang akan dilanjutkan pada minggu depan dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya.

Beasiswa Seharusnya Menjadi Jembatan Kesuksesan

Kasus dugaan korupsi beasiswa Pemerintah Aceh tahun anggaran 2017 tidak hanya mengungkapkan manipulasi dana besar, tetapi juga membuka tabir gelap mengenai betapa pentingnya beasiswa dalam mendukung pendidikan di Aceh. Kegagalan sistem yang ada tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga mengancam impian dan masa depan ribuan mahasiswa serta memperburuk tekanan ekonomi yang dihadapi banyak keluarga.

Di tengah persidangan yang mengungkap skandal ini, fakta-fakta yang terungkap menggambarkan dampak besar dari penyelewengan dana beasiswa. Seharusnya, beasiswa tersebut bisa menjadi jembatan bagi mahasiswa Aceh untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan membuka peluang karier yang lebih baik. Namun, dana yang seharusnya mendukung pendidikan justru diselewengkan, mengakibatkan banyak mahasiswa kehilangan kesempatan untuk melanjutkan studi mereka.

Cerita Mahasiswa dan Tekanan Ekonomi

Kisah-kisah nyata dari mahasiswa yang terpaksa putus kuliah akibat kekurangan dana menjadi sorotan dalam kasus ini. Misalnya, Rini (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswa dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, harus menghentikan studinya di tahun ketiga karena keluarganya tidak mampu membiayai biaya kuliah dan hidup.

Selain Rini, ada juga cerita dari Andi (bukan nama sebenarnya), yang berasal dari sebuah desa di Aceh Selatan. Andi seharusnya melanjutkan kuliah di jurusan teknik di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Banda Aceh. Namun, akibat tidak mendapatkan beasiswa, ia terpaksa menunda kuliah dan bekerja sebagai buruh untuk membantu keluarganya.

“Saya merasa sangat frustrasi. Beasiswa adalah satu-satunya harapan saya untuk melanjutkan pendidikan. Sekarang, saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” kata Andi.

Keluarga-keluarga di Aceh juga merasakan dampak besar dari penyelewengan beasiswa ini. Banyak orang tua yang bergantung pada dana beasiswa untuk membantu anak-anak mereka melanjutkan pendidikan. Tanpa dukungan beasiswa, mereka terpaksa menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Misalnya, keluarga dari Dini (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa asal Aceh Selatan, harus berjuang keras untuk menutupi biaya pendidikan dan kebutuhan sehari-hari akibat tidak mendapatkan beasiswa.

“Saya harus bekerja ekstra keras untuk membayar biaya kuliah Dini. Situasi ini sangat berat bagi keluarga kami,” ungkap ibunya dengan nada penuh keputusasaan.

Harapan yang Hilang

Kasus korupsi ini menunjukkan betapa pentingnya beasiswa dalam menciptakan peluang pendidikan yang adil dan merata. Jika dana beasiswa digunakan dengan benar, ribuan mahasiswa di Aceh bisa mendapatkan kesempatan yang layak untuk mengejar mimpi mereka. Namun, akibat penyelewengan ini, tidak hanya masa depan mahasiswa yang terancam, tetapi juga potensi yang hilang bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Kejadian ini harus menjadi pelajaran berharga untuk sistem pendidikan dan pengelolaan dana beasiswa di masa depan. Dengan penegakan hukum yang tegas dan reformasi dalam proses alokasi beasiswa, diharapkan kejadian serupa tidak terulang dan beasiswa dapat benar-benar menjadi jembatan menuju kesuksesan bagi mahasiswa Aceh.

Dengan terungkapnya kasus ini, masyarakat Aceh berharap agar seluruh pihak yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan memperbaiki sistem agar lebih transparan dan adil, demi masa depan pendidikan di Aceh yang lebih baik.

.

Penulis: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img