Koperasi Merah Putih: Komando Politik di Desa yang Mengancam Logika Pasar

Share

NUKILAN.id | Opini – Jika Muhammad Hatta masih hidup hari ini, ia mungkin akan mengernyitkan dahi melihat proyek ambisius 80.000 Koperasi Desa Merah Putih yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Dalam catatan sejarah, Hatta mendirikan koperasi sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme kolonial—mengusung nilai gotong royong, demokrasi ekonomi, dan kemandirian. Namun, apa yang kini disebut “Ibu Koperasi” Prabowo itu justru mencerminkan semangat komando, bukan kolektivitas. Lebih dekat pada mesin politik ketimbang lembaga ekonomi rakyat.

Koperasi Merah Putih bukan lahir dari rahim kebutuhan desa, melainkan dari rahim kekuasaan. Instruksi kepada kepala desa agar mendirikan koperasi ini datang dari atas—bukan hasil musyawarah warga, sebagaimana seharusnya prinsip koperasi dijalankan. Skema top-down ini sarat kepentingan, menabrak regulasi, dan berpotensi menciptakan kekacauan fiskal serta keuangan desa.

Modal koperasi diambil dari dana desa, yang semestinya digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, meningkatkan layanan publik, dan memberdayakan masyarakat melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun, skema Koperasi Merah Putih justru memotong 20 persen dana desa untuk modal awal dan 20 persen berikutnya dijadikan agunan pinjaman ke bank milik negara. Sebuah langkah yang tak hanya melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tapi juga mengandung risiko sistemik bagi keuangan nasional jika proyek ini gagal.

Jika dihitung kasar, dari Rp71 triliun dana desa tahun ini, akan ada potensi utang koperasi sebesar Rp14 triliun tahun depan—dua kali lipat dari bailout Bank Century pada 2008 yang kala itu dianggap menyelamatkan sistem perbankan nasional. Bedanya, proyek Prabowo ini justru menyeret sistem perbankan masuk ke dalam arus politik elektoral. Pemakaian bank negara untuk proyek yang rapuh secara bisnis dan sarat muatan politik hanya akan merusak kredibilitas sektor keuangan dan memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan negara.

Apalagi, dugaan adanya “balas jasa politik” tak bisa diabaikan. Investigasi menunjukkan proyek koperasi ini sebagai bentuk kompensasi kepada para kepala desa yang telah mendukung Prabowo dalam Pilpres 2024. Maka tak heran, para pengelola koperasi akan dipilih bukan berdasarkan kompetensi, melainkan loyalitas. Jabatan pengurus menjadi jatah partai pendukung seperti Gerindra dan Projo, bahkan turut dibagikan kepada politikus dari Partai Amanat Nasional yang kini mengelola kementerian terkait.

Selain problem hukum dan moral, skema bisnis Koperasi Merah Putih pun mengandung kelemahan mendasar. Pemerintah pusat akan menentukan jenis usaha koperasi, mulai dari simpan pinjam, apotek, gudang, hingga logistik—tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil dan daya saing lokal. Padahal di banyak desa, warung kelontong dan pelaku usaha mikro sudah lebih dulu hadir. Koperasi Merah Putih justru berpotensi mematikan ekonomi desa yang telah bertahan secara organik.

Yang lebih tragis, koperasi jenis ini nyaris pasti akan gagal di tengah derasnya arus kapitalisme dan logika pasar bebas jika tidak dikelola dengan prinsip profesional. Banyak koperasi desa sebelumnya gulung tikar karena kalah bersaing dengan usaha swasta yang lebih gesit dan efisien. Koperasi hanya bisa bertahan jika dikelola oleh orang-orang yang paham pasar, bukan oleh relawan politik atau petugas partai.

Prabowo semestinya sadar bahwa keberpihakan pada desa tidak harus dibungkus dalam jargon nasionalis semu seperti “Merah Putih”. Jika benar ingin memperkuat ekonomi rakyat, maka perkuatlah lembaga yang sudah ada: BUMDes, koperasi tradisional, kelompok tani, dan UMKM lokal. Dana desa jangan dijadikan agunan politik, melainkan ditumbuhkan dalam semangat kemandirian.

Presiden juga perlu berpikir ulang. Menggelontorkan dana Rp14 triliun untuk koperasi yang belum jelas model bisnisnya adalah perjudian besar. Lebih baik dana itu difokuskan pada pembangunan infrastruktur dasar, fasilitas kesehatan, dan pendidikan yang nyata terasa dampaknya. Jika koperasi hendak didorong, biarlah tumbuh secara organik, dari bawah ke atas, bukan atas perintah kekuasaan.

Membangun koperasi memang penting. Tapi membangun politik yang sehat, ekonomi yang transparan, dan pemerintahan yang taat hukum jauh lebih penting. Jangan jadikan koperasi sebagai kendaraan politik lima tahunan. Sebab jika koperasi hanya dijadikan alat elektoral menuju Pilpres 2029, bukan saja ia mengkhianati semangat Hatta, tapi juga menodai harapan jutaan warga desa yang seharusnya menjadi subjek pembangunan—bukan objek manipulasi kekuasaan. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News