Komnas Perempuan: Perkawinan Anak Bertentangan dengan Konstitusi

Share

Nukilan.id – Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan perkawinan anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan.

“Perkawinan anak bertentangan dengan hak tumbuh kembang anak dan jaminan atas rasa aman,” kata Andy dalam seminar daring tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang diadakan Jaman Perempuan Indonesia di Jakarta, Jumat.

Andy mengatakan hak tumbuh kembang anak diatur dalam Pasal 28B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan jaminan atas rasa aman diatur dalam Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Selain bertentangan dengan konstitusi, perkawinan anak juga melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tenteng Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Perkawinan anak juga melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Andy mengatakan memiliki pengalaman pribadi terkait praktik perkawinan anak.

Dia yang lahir dan besar di Kalimantan Barat, mulai kehilangan teman-temannya pada usia belasan tahun karena dikawinkan.

“Teman-teman dari etnis Tionghoa bahkan sampai dikawinkan di Taiwan. Ekonomi yang sulit menjadi alasan mereka dikawinkan sampai jauh, untuk membantu perekonomian keluarga,” tuturnya.

Menurut Andy, anak perempuan lebih rentan terhadap praktik perkawinan anak. Perkawinan anak terjadi bukan hanya karena faktor budaya dan ekonomi keluarga semata, tetapi juga ada sindikasi yang membuat perkawinan anak menjadi sesuatu yang transaksional.

Karena itu, perlu ada strategi intervensi untuk mencegah perkawinan anak.

Andy mengatakan Komnas Perempuan memandang terdapat tiga bidang bisa menjadi arah intervensi pencegahan perkawinan anak, yaitu hukum, pendidikan dan ekonomi.

“Selain intervensi melalui payung hukum dan penegakan hukum, pendidikan juga menjadi intervensi yang penting. Bagaimana sistem pendidikan nasional bisa menjadi katalis pada saat pandemi COVID-19 dan pemberdayaan diri masyarakat,” katanya.

Intervensi di bidang ekonomi juga harus dilakukan. Fenomena orang-orang dengan pendidikan tinggi yang menjadi penganggur juga bisa menjadi pembenar bagi mereka yang mendukung praktik perkawinan anak.

“Ada pembenaran sekolah tinggi juga menganggur, kemudian berpikir lebih baik anak dikawinkan,” ujarnya.

Sumber: Antara

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News