NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh terus melanjutkan upaya pemulihan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa konflik di Tanah Rencong. Hingga tahun ini, sebanyak 2.680 korban telah direkomendasikan kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk menerima program reparasi atau hak pemulihan dalam kurun waktu 2025–2030.
“Secara keseluruhan dari 2025–2030, BRA sudah menginput 2.680 data korban pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi KKR Aceh untuk mendapatkan reparasi,” ujar Ketua Pokja Reparasi KKR Aceh, Yuliati, di Banda Aceh, Jumat (31/10/2025).
Ia menambahkan, khusus untuk tahun 2025, sebanyak 557 korban telah direkomendasikan untuk menerima reparasi dan kini menunggu proses realisasi dari BRA.
KKR Aceh, yang dibentuk untuk menegakkan kebenaran dan memulihkan martabat korban konflik, hingga kini telah mengambil pernyataan dari 5.155 korban pelanggaran HAM di Aceh. Selain itu, 1.200 data lainnya masih dalam proses analisis kebenaran, sebelum nantinya turut direkomendasikan sebagai penerima reparasi.
Sejak berdiri, lembaga ini telah menjalankan program reparasi mendesak terhadap korban, salah satunya pada 2022 lalu. Dari 242 korban yang direkomendasikan kepada Gubernur Aceh melalui BRA, sebanyak 235 orang telah menerima bantuan sosial tunai.
BRA sendiri merupakan lembaga yang lahir pascaperdamaian Aceh, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Lembaga ini bertugas mengakomodasi kebutuhan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tahanan dan narapidana politik, serta korban konflik lainnya.
Menurut Yuliati, bentuk reparasi selama ini masih berupa bantuan sosial. Namun, ke depan, pendekatannya akan diperluas menjadi pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial, seiring dengan terbitnya Keputusan Gubernur Aceh Nomor 100.3.2/1180/2025 tentang Pedoman Pelaksanaan Reparasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh, yang ditandatangani pada 29 September 2025.
“Kalau dulu kita tidak memiliki ketentuan khusus soal reparasi, sehingga diberikan dalam bentuk bansos. Tapi, mulai ke depan sudah dalam dua skema, yaitu pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial,” jelasnya.
Yuliati menegaskan, pemenuhan hak korban pelanggaran HAM bersifat berkelanjutan dan tidak terbatas pada kondisi sosial ekonomi penerima.
“Ketika dia adalah korban yang pernah mengalami peristiwa di masa lalu, dia berhak untuk mendapatkan pemenuhan atau pemulihan yang memang menjadi haknya,” tegasnya.
Langkah ini menjadi bagian penting dari upaya keberlanjutan perdamaian dan pemulihan sosial di Aceh, dua dekade setelah konflik berakhir.






