Nukilan.id – Pocut Meurah Intan adalah pejuang perempuan dari Aceh. Dia lahir tahun 1833 di Tuha Biheue sebuah kawasan di Desa Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh.
Dalam buku Prominent Women in The Glimpse of History, dijelaskan Pocut Merah Intan adalah keturunan bangsawan dari Kesultanan Aceh. Ia dikenal juga dengan nama Pocut Di Biheue yang berarti Pocut dari Biheue.
Dikutip dari pidiekab.go.id, ayahnya adalah Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Namanya adalah Teuku Meureh Intan seorang hulubalang di Biheud.
Disebutkan suami Pocut Di Biheu bernama Tuanku Abdul Majid. Ia adalah putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah.
Baca juga
Tuanku Abdul Majid adalah anggota keluarga Sultan Aceh yang tidak mau berdamai dengan Belanda.
Ia gigih melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Laweung dan Batee, yang kerap menyerang kapal-kapal dari maskapai berbendera Belanda.
Abdul Majid dicap Belanda sebagai Zeerover, yakni perompak laut.
Saat ini nama Pocut Meurah Intan digunakan untuk taman hutan raya (Tahura) yang berada di antara perbatasan Kabupaten Pidie dan Aceh Besar di ketinggian Gunung Seulawah.
Pocut Meurah Intan dikenal sebagai perempuan yang tangguh. Sejak kecil ia sudah ditanamkan karakter agamis dan patriotik oleh sang ayah. Ia memiliki ambisi melawan kolonialisme Belanda yang masuk ke negerinya.
Lalu ia mengumpulkan para pengikutnya termasuk tiga putranya yakni Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad, dan Tuanku Nurdin serta tangan kanannya, Pang Mahmud, untuk memimpin perjuangan. Pocut Meurah Intan dikenal dikenal tegas dan memiliki banyak pengikut.
Pengaruh dan karakter Pocut Meurah Intan inilah yang membuat pemerintah Belanda resah, dan berusaha menghentikan sepak terjangnya. Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, disebutkan militer Hindia Belanda melakukan ekspedisi di Aceh, Mayjen T.J di pimpin oleh Veltman bersama 17 tentaranya Ekspedisi mmiliter dilakukan pada di 11 November 1902 dan mereka patroli tempat persembunyian Pocut Meurah Intan di Biheue. Mengetahui hal tersebut Pocut Meurah Intan beraksi sendirian melawan rombongan patroli itu.
Karena terdesak, ia kemudian mencabut rencong di pinggan dan menyerang patroli seorang diri hingga ia mengalami banyak luka. Pocut Di Biheue kemudian dibiarkan tergeletak bersimbah darah. Veltman sempat mengira perempuan Aceh tersebut akan mati. Ia kagum dengan semangat Pocut Di Biheue sehingga melarang sersan yang hendak membunuh Pocut yang dalam keadaan tak berdaya. Ia pun ditinggalkan dalam keadaan bersimbah darah. Namun dugaan Veltman yang mengira Pocut akan meninggal tak terbukti.
Perempuan perkasa tersebut masih selamat karena berhasil menyelamatkan diri walaupun mengalami banyak luka di kepala serta bahu. Otot tumitnya juga putus sehingga ia harus diamputasi saat dirawat dalam tahanan kolonial Veltman yang kagum dengan Pocut kemudian membawa dokter ke kediaman Pocut untuk merawat luka.
Meski begitu ia menolak bantuan tersebut walaupun terus dibujuk oleh Veltman. Akhirnya ia bersedia dirawat asalkan oleh tentara Belanda yang dari pribumi. Kabar tentang Pocut diterima oleh Scheuer komandan militer Belanda. Ia pun menemui Pocut Di Biheue untuk menyampaikan rasa hormatnya.
Ditangkap di Kuta Raja dan diasingkan ke blora
Pada tahun 1905, Pocut Di Biheue ditangkap di Kutaraja yang saat ini bernama Banda Aceh. Ia bersama dua anaknya yakni Tuanku Nurdin dan Tuanku Budiman, dan saudaranya tuanku Ibrahim akhirnya diasingkan ke Blora. Pengasingan ini atas Suat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 Mei 1905 No.24, yang membuat perjuangan Pocut dan keluarganya usai. Sementara satu anak Pocut, Tuanku Muhammad dibuang ke Tondano Sulawesi Utara pada 1900.
Selama 30 tahun di pengasingan di Blora, kesehatan Pocut Meurah Intan semakin menurun. “Ditelantarkan oleh banyak pihak. Karena semua takut [untuk mengurusnya] oleh Belanda,” ujar Mochamad Djamil, generasi ketiga penjaga situs makam Pocut Meurah Intan. “Bupati sama yang lainnya itu kan takut sama Belanda, yang berani cuma mbah saya,” ungkapnya pada National Geographic Indonesia. Kakek dari Mochamad Djamil sendiri adalah RMN Dono Muhammad, seorang penghulu yang menjadi sahabat Pocut Meurah Intan.
Dari penuturannya, Dono membawa lari Pocut Meurah Intan ke kediamannya di depan Masjid Agung Blora. “Selama persembunyiannya, enggak berani keluar dia (Pocut Meurah Intan), biar enggak ketahuan Belanda. Apalagi dia sakit-sakitan, dan kakinya kan diamputasi,” terang Djamil. Dono meninggal pada 1933 dan perawatan dan penjagaan kepada Pocut Meurah Intan terus dilakukan oleh anak-anak Dono. Pocut Meurah Intan meninggal pada 19 September 1937.
Sebelum kepergiannya, Pocut Meurah Intan berwasiat ketika meninggal agar dimakamkan di Blora saja. Anak-anak Dono pun memakamkannya di pemakaman keluarga di Desa Temurejo, Blora. Hingga kini, Djamil bersama sanak keluarganya tetap mempertahankan wasiat itu. “Pernah perwakilan Provinsi Aceh datang kemari, mereka mau memindahkan makanya ke Aceh. Tapi kami menentangnya karena ini udah jadi wasiat dari beliau langsung pada kami. Ini amanah yang diberikan pada keluarga kami,” pungkasnya. [kompas.com]