NUKILAN.id | Feature – Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Sore itu, rona jingga membias di langit Banda Aceh, menyelimuti jalan-jalan di sekitar kawasan Kopelma Darussalam. Hiruk-pikuk mahasiswa yang berburu takjil menyatu dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang. Di sebuah sudut dapur kos sederhana, Maula (22), mahasiswa semester lima asal Payakumbuh, sibuk menyiapkan makanan berbuka. Amatan Nukilan.id, tangannya lincah mengaduk Panik Cubadak, masakan khas kampung halamannya, yang menjadi obat rindu bagi seorang perantau sepertinya.
“Awalnya berat, rindu rumah itu pasti. Tapi lama-lama saya merasa di sini lebih mandiri dan nyaman,” ujar Maula sembari mengaduk wajan kecilnya. Aroma rempah yang menggugah selera menyeruak, seolah membawa bayangan rumah dan keluarga yang jauh di sana.
Merantau bagi mahasiswa bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Lebih dari itu, ia adalah perjalanan menemukan jati diri, melampaui batasan, dan belajar bertahan. Banyak yang akhirnya merasa bahwa tanah rantau bukan lagi tempat asing, melainkan rumah kedua yang memberi mereka kebebasan dan kesempatan untuk berkembang.
Mansur (21), mahasiswa asal Aceh Selatan yang kini menempuh studi di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, merasakan hal serupa. “Di sini saya bisa mengeksplorasi diri tanpa banyak batasan. Meski jauh dari keluarga, saya belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Rasanya seperti menemukan rumah baru,” katanya. Ia kini aktif dalam komunitas seni musik, menjadikannya sebagai ruang aktualisasi dan penghilang sepi.
Menemukan Nyaman di Tempat Baru
Menurut sebuah studi yang dimuat dalam jurnal The Role of Social Support in College Adjustment: A Longitudinal Study (2018), kemampuan mahasiswa perantau dalam beradaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Mahasiswa yang memiliki jaringan pertemanan dan komunitas yang kuat lebih cepat menyesuaikan diri serta merasakan tingkat kenyamanan yang lebih tinggi.
Adaptasi inilah yang dirasakan Maula. Meski awalnya canggung dengan kebiasaan baru di Banda Aceh, ia akhirnya menemukan ritmenya sendiri. “Saya banyak belajar dari teman-teman di sini. Bahkan, saya merasa lebih nyaman karena ada teman-teman senasib yang saling mendukung,” ujarnya dengan senyum hangat.
Selain aspek sosial, fasilitas di kota juga menjadi faktor penentu. Transportasi umum yang mudah diakses, pusat perbelanjaan, hingga fasilitas pendidikan yang memadai membuat mahasiswa perantau lebih leluasa menjalani keseharian mereka.
“Di sini saya bisa naik Trans Koetaradja ke kampus atau pergi ke perpustakaan wilayah dengan mudah. Semua lebih dekat dan praktis,” kata Mansur, yang kerap menghabiskan akhir pekan dengan menjelajahi kota.
Antara Rindu dan Mandiri
Namun, betah di tanah rantau bukan berarti tanpa tantangan. Kesepian dan rindu rumah masih kerap menyapa di sela-sela kesibukan kuliah. Mansur mengaku harus pintar-pintar mengelola keuangan, terutama untuk makan dan transportasi. “Kadang kalau lagi sulit, saya cari kerja sampingan,” ujarnya. Kini, ia menjadi relawan lembaga filantropi untuk menambah pemasukan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, Maula memilih aktif dalam organisasi pecinta alam di kampusnya. “Kami sering mengadakan acara makan bersama atau diskusi. Rasanya seperti pulang kampung,” katanya. Komunitas bukan hanya tempat berbagi cerita, tetapi juga menjadi pengganti keluarga di tanah perantauan.
Bagi Mansur, bergabung dalam komunitas musik bukan sekadar menyalurkan hobi, tetapi juga memperluas jaringan pertemanan. “Saya belajar banyak hal baru di sini, dan itu membuat saya merasa lebih diterima di tempat baru,” tuturnya.
Meski banyak tantangan, mahasiswa perantau sering kali merasa lebih nyaman di tanah asing. Adaptasi yang cepat, dukungan komunitas, serta fasilitas yang tersedia membuat mereka betah dan mampu menjalani kehidupan mandiri. Seperti yang dikatakan Maula, “Merantau mengajarkan saya arti sebenarnya dari rumah. Bukan hanya tempat, tapi bagaimana kita merasa diterima dan nyaman di mana pun kita berada.” (xrq)
Penulis: Akil