Kisah Orang Aceh di Malaysia: Warisan Ulama Aceh yang Mengakar di Tanah Melayu

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Suatu ketika di penghujung abad ke-19, ketika bumi Aceh berada dalam tekanan kolonial Belanda, sekelompok ulama Aceh memilih jalan yang berbeda dalam melawan penindasan.

Mereka tidak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam kondisi yang sulit, para ulama Aceh ini berhijrah ke Tanah Melayu (sekarang Malaysia), bukan sekadar menyelamatkan diri, tetapi untuk meneruskan perjuangan dalam bentuk yang lain.

Teungku Abdullah Sakti, seorang sejarawan Aceh yang juga dikenal sebagai TA Sakti, memaparkan bahwa kedatangan orang Aceh ke Tanah Melayu bukanlah semata-mata untuk mencari perlindungan.

“Sebagian besar dari mereka adalah ulama yang terpaksa merantau akibat tekanan Belanda. Namun, tujuan utama mereka tetap satu: mempertahankan Aceh dengan cara apapun yang bisa dilakukan, termasuk melalui pengumpulan dana dan pembentukan sistem pendidikan,” ungkapnya kepada Nukilan.id, Kamis, 29 Agustus 2024.

Penghijrahan Ulama ke Yan

Di Yan, sebuah kawasan di Kedah, Malaysia, ulama Aceh mulai menapak jejak dengan mendirikan pusat-pusat pendidikan agama. Salah satu figur penting dalam sejarah ini adalah Teuku Abdul Djalil Lamno, yang tiba di Yan pada tahun 1930-an. Kedatangannya membawa perubahan signifikan bagi masyarakat Aceh di sana.

Awalnya, orang Aceh di Yan mengumpulkan dana untuk membeli senjata dalam rangka mendukung perang di Aceh. Mereka mengamalkan konsep ‘beras segenggam’, di mana sebagian hasil pertanian disumbangkan untuk tujuan tersebut. Namun, kehadiran Teuku Abdul Djalil mengubah fokus mereka dari perjuangan bersenjata menjadi perjuangan melalui pendidikan.

Dengan pengaruh Teuku Abdul Djalil, masyarakat Aceh di Yan mengalihkan dana yang dikumpulkan untuk membangun sekolah agama. Sekolah tersebut menjadi fondasi pendidikan bagi generasi Aceh yang menetap di Malaysia.

“Pada tahun 1935, berdirilah Sekolah Agama Attarbiah Addiniah Auladiah, yang menjadi simbol kekuatan pendidikan agama dan bahasa Arab di kampung Aceh,” lanjut TA Sakti.

Abdul Djalil, bersama dengan Tengku Abdul Hamid dan Tengku Md Dahan, mengajar di sekolah ini yang awalnya dibangun dari bahan sederhana seperti bambu. Dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi orang Aceh di Yan, sekolah tersebut kemudian diperluas dan dibangun dengan bahan yang lebih permanen seperti kayu dan semen.

Semangat untuk berdakwah dan memperjuangkan pendidikan sangat kuat di kalangan orang Aceh. Banyak dari mereka yang rela menyumbangkan tanah untuk diwakafkan demi pengembangan sekolah.

Sistem pengelolaan tanah ini kemudian melahirkan koperasi SABENA, yang berperan dalam mengurus tanah wakaf dan hasilnya untuk pengelolaan sekolah. Namun, perjuangan mereka tidak berhenti di situ. Saat Jepang menduduki Tanah Melayu, banyak guru agama Aceh ditawan dan dikirim kembali ke Aceh dan Medan untuk mengintai pergerakan Belanda.

“Pendudukan Jepang menyebabkan sistem pendidikan terhenti sementara, dan setelah tahun 1946, baru upaya untuk menghidupkan kembali pendidikan agama di Kampung Aceh dimulai,” tambahnya.

Setelah kemerdekaan, TA Sakti menjelaskan, masyarakat Aceh di Yan menghadapi tantangan baru. Pada masa itu, banyak orang tua yang mulai menganggap pendidikan di sekolah agama hanya terbatas pada pelajaran agama dan bahasa Arab.

Di sisi lain, muncul sekolah-sekolah Inggris dan nasional yang menawarkan pendidikan yang lebih luas. Namun, bagi masyarakat Aceh yang sudah tertanam semangat anti-kafir, pendidikan di sekolah Inggris dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari.

Perubahan sosial dan penghijrahan ke luar Kampung Aceh menyebabkan penurunan populasi di sana, yang berdampak pada berkurangnya minat terhadap sekolah agama. Namun, pada tahun 1960-an, Tan Sri Sanusi Junid mencoba menghidupkan kembali sekolah tersebut dengan menambahkan pengajaran keterampilan, meskipun hanya bertahan kurang dari 10 tahun.

“Pada akhirnya, saya mencadangkan agar sekolah ini menjadi cabang Maktab Mahmud Alor Setar. Usulan ini diterima, dan dalam waktu kurang dari dua bulan, cabang itu resmi berdiri,” sebutnya.

Warisan Pendidikan dan Budaya Aceh di Malaysia

Budaya pendidikan Aceh yang unik, seperti kebiasaan anak-anak lelaki yang tinggal di pondok atau surau untuk mendalami ilmu agama, menjadi ciri khas Kampung Aceh. Bahkan, hampir setiap lorong di kampung ini memiliki surau yang berfungsi sebagai pusat pengajaran.

TA Sakti juga menyoroti tokoh-tokoh penting lainnya seperti Raden Mahmud dan Tengku Hasbullah Inderapuri, yang memainkan peran besar dalam mengembangkan pendidikan dan semangat kebangsaan di kalangan masyarakat Aceh di Malaysia.

“Raden Mahmud, dengan kemampuannya dalam berpidato, turut serta dalam Angkatan Pemuda Islam (API) melawan Jepang, sementara Tengku Hasbullah lebih fokus pada menanamkan semangat cinta tanah air dan agama,” paparnya.

Kampung Aceh bukan hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga tempat lahirnya para pejuang yang menentang penjajahan Belanda dan kemudian pemerintahan Sukarno. Banyak dari mereka yang diburu dan terpaksa melarikan diri ke Malaysia, di mana mereka akhirnya meninggal dan dimakamkan di Yan.

Melalui kisah ini, jelas bahwa semangat perjuangan dan dedikasi dalam mempertahankan agama dan bangsa telah menjadi warisan abadi yang mengakar kuat di tanah Melayu.

“Warisan ini tidak hanya membentuk identitas orang Aceh di Malaysia, tetapi juga menjadi bagian penting dari sejarah hubungan antara Aceh dan Malaysia yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan,” pungkasnya.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News