Ketua KKR Aceh Sebut Rumoh Gedong Jadi Jejak Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Share

Nukilan.id – Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya menyampaikan, bahwa kebijakan Presiden RI atas tiga peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh sangat perlu untuk dihormati. Kemudian dilakukan tindaklanjut terhadap pemuliham korban.

“Kita sangat mengapresiasi apa yang sedang dilakukan oleh tim lintas Kementerian saat ini,” kata dia.

Ia menyampaikan, bahwa saat ini secara kelembagaan KKR Aceh juga telah membantu akses informasi yang dibutuhkan oleh tim PPHAM/PKPHAM terkait korban yang pernah terdata oleh KKR Aceh.

Baca Juga: Ketua KKR Aceh Masthur Yahya Akan Tuntaskan Reparasi 245 Korban Pelanggaran HAM

Menurutnya, dalam pandangan KKR Aceh berbagai bekas atau jejak peristiwa pelanggaran HAM beras masa lalu dapat terlihat pada rumah Rumoh Gedong yang dikenali sebgai memorial meskipun hanya tinggal sedikit yang tersisa

Lebih lanjut, Masthur Yahya menyebutkan, bahwa dalam pandangan KKR sepatutnya juga bekas atau jejak bangunan Rumoh Gedong sebagai salah satu tempat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut tetap dapat dikenali sebagai memorial walau sedikit yang tersisa.

“Kalau di lokasi tersebut nanti akan dibangun bangunan baru apapun namanya, apakah berupa Taman Kehidupan, Meusium HAM atau sarana lain yang bermanfaat bagi ahli waris korban maupun masyarakat setempat, perlu dimusyawarahkan dengan korban, elemen masyarakat sipil tingkal lokal maupun nasional, bahkan masyarakat internasional, sebab sorotan terhadap pelanggaran HAM berat tidak saja menjadi masalah lokal atau nasional, tapi masalah umat manusia sedunia,” ujarnya.

Ia menjelaskan, meskipun saat ini hanya tersisa dinding atau tangga bangunan rumah saja. Namun, pada saat dibangun baru bisa disiasati oleh pekerja bangunan agar kepingan atau tembok sisa bangunan rumoh gedong tersebut tetap menjadi penanda renungan kisah pilu masa lalu yang tidak boleh terulang kembali sampai kapanpun.

“Sisa bagian bangunan rumoh gedong penting diabadikan sebagai sebuah memorialisasi, tujuannya bukan untuk mengungkit luka lama, bukan pula untuk membangkitkan kembali trauma, tapi sebagai “muhasabah” atas apa yang pernah terjadi dimasa lalu untuk pelajaran dimasa kini,” jelasnya.

Selanjutnya, ia menegaskan, bahwa jaminan ketidakberulangan adalah tanggungjawab semua pihak, maka penting untuk memiliki titik simbolik tanda pengingat bersama semisal rumoh gedong. Apalagi dari tahun ke tahun selama ini di lokasi rumoh geudong sudah berkali-kali diadakan berbagai acara peringatan, kenduri, doa bersama, oleh komunitas korban untuk mengenang keluarganya (korban), pegiat HAM ditingkat lokal maupun nasional juga beberapa kali pernah memfasilitasi komunitas korban untuk acara doa bersama, pemberdayaan atau pemulihan korban yang juga turut dihadiri oleh lembaga negara seperti Komnas HAM maupun unsur pemerintah setempat. Dengan demikian maka lokasi rumoh gedong tersebut sudah bisa dianggap sebagai situs atas bukti kejadian masa lalu.

“Memorialisasi tidak bermakna sebagai stigma negative atau keberulangan tuduh menuduh atas kejadian masa lalu, bukan untuk menyudutkan pihak tertentu dimasa kini, tetapi sebagai pelajaran batin, sebagai nasehat kolektif para pihak yang terlibat dalam konflik masa lalu, terlebih penting lagi adalah memorialisasi sebagai pelajaran sejarah bagi generasi Aceh masa depan selaku pemangku warisan perdamaian,” tutupnya. [Redaksi]

Baca Juga: Fajran Zain: KKR Aceh Harus Bersinergi dengan Pemerintah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News