Ketua IKA IP USK Prihatin Penganugerahan Gelar Kehormatan di Aceh Kini Ditentukan Jabatan Bukan Kinerja

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Ketua Ikatan Keluarga Alumni Ilmu Pemerintahan USK, T. Auliya Rahman, menilai praktik pemberian penghargaan di Aceh kian jauh dari semangat penghormatan terhadap kapasitas dan pengetahuan.

Menurutnya, penghargaan di Aceh hari ini lebih ditentukan oleh jabatan, pangkat, relasi, dan pengaruh, ketimbang oleh rekam jejak dan kinerja seseorang.

Hal itu ia sampaikan kepada Nukilan.id pada Sabtu (15/11/2025), menanggapi penganugerahan gelar kehormatan “Petua Panglima Hukom Nanggroe” kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian oleh Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, pada Rabu, 12 November 2025, yang belakangan memicu kritik publik.

Auliya, yang kini menempuh studi Magister Islam Pembangunan dan Kebijakan Publik di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memandang pemberian gelar kepada Tito sebagai langkah yang kurang tepat dan tidak sejalan dengan kebutuhan Aceh hari ini.

Dalam analisisnya, penganugerahan gelar tersebut tidak dapat dilepaskan dari dinamika hubungan Aceh dengan pemerintah pusat, terutama dalam konteks politik yang sedang mengemuka.

“Ada kemungkinan bahwa penganugerahan gelar ini merupakan upaya merekonstruksi hubungan dengan pemerintah pusat. Mari kita kesampingkan sejenak bagaimana ‘jasa’ Tito yang sempat membuat gaduh publik Aceh beberapa waktu lalu terkait isu pemindahan status pulau,” ujar Auliya.

Menurutnya, isu yang semestinya lebih mendapat perhatian adalah berakhirnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh pada 2028. Hingga saat ini, belum ada kepastian mengenai peluang perpanjangan dana tersebut, sementara kekhawatiran di tingkat elit justru meningkat.

“Fakta bahwa dana Otsus Aceh akan berakhir pada 2028. Hingga kini, belum ada sinyal positif apakah akan diperpanjang. Yang muncul justru narasi negatif soal dugaan salah kelola anggaran,” lanjutnya.

Dalam kondisi tersebut, kata Auliya, sebagian elit Aceh tampak berusaha mendekati pemerintah pusat melalui jalur-jalur simbolik, bukan melalui perbaikan tata kelola.

“Tidak heran bila para elit Aceh gelagapan dan mencoba mencari cara untuk melunakkan hati pemerintah pusat, meski melalui cara yang tidak substansial, seperti mengobral gelar kehormatan,” katanya.

Auliya menegaskan bahwa akar permasalahan Aceh bukan pada minimnya dana, melainkan lemahnya transparansi. Ia mencontohkan pengelolaan Dana Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dinilai lebih terbuka dan dapat dipantau publik.

“Padahal solusinya sederhana yaitu transparansi. Lihatlah bagaimana Dana Istimewa di Yogyakarta dikelola. Di sana, setiap infrastruktur, taman, halte, fasilitas publik, hingga event budaya yang menggunakan Dana Istimewa diberi tanda yang jelas. Masyarakat tahu uang itu digunakan untuk apa dan kemana,” ucapnya.

Sebaliknya, di Aceh, minimnya akses informasi publik membuat penggunaan anggaran Otsus sulit diikuti masyarakat, menciptakan ruang abu-abu yang rentan disalahgunakan.

Karena itu, Auliya menilai polemik penganugerahan gelar kepada Tito bukanlah isu tunggal, melainkan cerminan dari problem yang lebih dalam terkait tata kelola dan kultur pemberian penghargaan di Aceh.

“Pertama, gelar kehormatan di Aceh telah kehilangan maknanya. Tidak lagi identik dengan kapasitas atau kontribusi, melainkan menjadi ornamen protokoler semata. Jangan salahkan masyarakat jika suatu saat gelar Wali Nanggroe, Wali Agama, atau gelar-gelar lain justru menjadi bahan olok-olok di warung kopi,” ujarnya.

Hal lain yang menurutnya krusial adalah kecenderungan penghargaan yang diberikan berdasarkan posisi seseorang, bukan pada kinerja atau pengetahuan.

“Kedua, di Aceh, penghargaan kepada seseorang ditentukan oleh jabatan, pangkat, relasi, dan pengaruh, bukan oleh kinerja dan pengetahuannya,” lanjut Auliya.

Jika pola ini berlanjut, ia khawatir Aceh akan menghasilkan generasi yang lebih piawai mengolah dana daripada mengolah data, serta lebih pandai memuji daripada menguji.

Di akhir pandangannya, Auliya berharap kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan dan menekankan bahwa perbaikan Aceh harus dimulai dari mereka yang memegang otoritas. (xrq)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img

Read more

Local News