Ketua APRI Aceh Selatan Desak Percepatan Izin Tambang Rakyat demi Kebangkitan Ekonomi

Share

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni, menegaskan bahwa percepatan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) merupakan kunci penting dalam membangkitkan ekonomi Aceh.

Ia menyebut legalisasi tambang rakyat tidak hanya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga mendorong kesejahteraan masyarakat serta mengurangi kerusakan lingkungan dan risiko keselamatan jiwa.

“Tambang rakyat jika dibina dan diawasi pemerintah, bisa menjadi solusi ekonomi yang ramah lingkungan dan manusiawi. Tapi sayangnya, izin yang seharusnya bisa diberikan malah terhambat oleh birokrasi berbelit,” ujar Delky, Sabtu (2/8/2025).

Delky menyayangkan belum adanya satu pun Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ditetapkan di Aceh, meskipun secara regulasi ruang legal sudah tersedia melalui Undang-Undang Minerba dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021. Padahal, kata dia, 19 provinsi lain tanpa kekhususan seperti Aceh telah lebih dahulu memiliki WPR.

“Aceh telah gagal memanfaatkan kekhususannya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Selama ini, UUPA hanya jadi pemanis bibir. Rakyat masih jadi penonton di tanah sendiri,” tegasnya.

Delky juga menyoroti sikap Pemerintah Aceh yang dinilainya belum menunjukkan komitmen serius dalam memperjuangkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk kepentingan rakyat.

“Sejak MoU Helsinki hingga kini, tak ada kemajuan signifikan. Bahkan Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera,” ujarnya.

Ia menambahkan, wilayah-wilayah pertambangan di Aceh justru lebih banyak dialokasikan kepada korporasi melalui skema Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Sementara, upaya untuk menetapkan WPR maupun Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) bagi organisasi masyarakat dan BUMD seolah tidak menjadi prioritas.

Meski demikian, Delky mengapresiasi itikad baik Gubernur Aceh terpilih, Muzakir Manaf (Mualem), yang mendorong lahirnya qanun pertambangan rakyat. Namun ia mengingatkan bahwa gagasan tersebut membutuhkan dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan.

“Kalau SKPA lamban dan DPRA tidak serius, maka ketika qanun disahkan, wilayah tambang rakyat sudah habis dibagi untuk korporat. Qanun hanya akan jadi pepesan kosong. Kami mendesak Mualem untuk mencopot pejabat yang tidak pro rakyat dan menggantinya dengan sosok yang memiliki integritas serta berpihak pada ekonomi kerakyatan,” tegasnya lagi.

Delky juga mengungkapkan adanya praktik setoran ilegal akibat tidak adanya legalisasi tambang rakyat. Ia menilai kondisi ini justru menciptakan ruang penyimpangan yang merugikan banyak pihak.

“Jika tidak dilakukan legalisasi pertambangan rakyat maka wajar saja setoran PAD tak ada yang ada hanya setoran ke oknum-oknum dengan dalih biaya keamanan belaka, rakyat susah, lingkungan rusak. Pemerintah justru seperti membiarkan kondisi ini terus terjadi,” katanya.

Lebih lanjut, Delky menjelaskan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya mineral seperti emas dan tembaga tanpa bergantung pada korporasi besar. Ia menyebutkan berbagai metode pengolahan yang ramah lingkungan dapat diterapkan, seperti gravitasi, leaching, flotasi, hingga elektrowinning.

“Selama ini masyarakat selalu dituding mencemari lingkungan karena dianggap hanya pakai air raksa. Padahal ada banyak metode lain yang jauh lebih aman. Nanti Pemerintah juga bisa membina dan mengawasi agar kegiatan tambang rakyat lebih terkendali,” terangnya.

Dari sisi pembiayaan, Delky mengusulkan agar Bank Aceh Syariah mulai bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang produktif dengan meluncurkan skema Pembiayaan Pertambangan Rakyat (PPR).

“Selama ini korporasi bisa ambil pinjaman ke bank dengan modal izin eksplorasi. Kenapa rakyat tidak bisa? Ini soal keberpihakan,” tegasnya.

Ia pun menutup pernyataannya dengan menyerukan agar kekhususan Aceh benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya menjadi simbol tanpa makna.

“Jika kekhususan Aceh tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat, maka UUPA dan MoU Helsinki yang menjadi patron kekhususan Aceh hanya akan jadi cerita menyedihkan bagi generasi Aceh ke depan. Semoga itikad baik Gubernur tidak jadi omon-omon, dan benar-benar diikuti kerja keras dari semua pihak,” pungkasnya.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News