Ketika Kesabaran Jokowi Mencapai Batas: Serangan Balik yang Berlandaskan Hukum

Share

NUKILAN.id | Opini – Setelah satu dekade memimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil langkah tegas terhadap tuduhan lama yang tak kunjung padam: isu ijazah palsu. Selama ini, Jokowi memilih bersikap tenang, membiarkan fitnah itu menguap oleh waktu dan fakta. Namun, ketika tuduhan yang sama terus dihembuskan, bahkan ketika masa jabatannya hampir usai, kesabarannya pun menemui batas. Inilah babak baru: serangan balik yang bukan didasarkan pada emosi, tapi pada prinsip hukum dan integritas.

Langkah hukum Jokowi terhadap sejumlah individu seperti Roy Suryo, Tifauzia Tiazuma, dan Rismon Sianipar bukan sekadar upaya pembelaan diri, tetapi juga pesan keras bahwa kebebasan berpendapat tidak berarti bebas memfitnah. Demokrasi bukan tempat subur bagi kebencian yang berselimutkan dalih kritik. Ketika fitnah dibiarkan berlarut, ia bukan hanya merusak nama baik seseorang, tapi juga menggerogoti kewarasan publik.

Tuduhan ijazah palsu bukan isu baru. Sejak periode pertama kepemimpinannya, narasi ini sudah beredar. Namun hingga kini, tidak satu pun gugatan hukum mampu membuktikan keabsahan tuduhan tersebut. Universitas Gadjah Mada telah secara terbuka menegaskan bahwa Jokowi adalah alumnus sah Fakultas Kehutanan. Komisi Pemilihan Umum juga telah melakukan verifikasi dokumen akademik Jokowi dalam dua pemilu, dan semuanya sah secara hukum. Jika semua institusi resmi negara telah memberikan verifikasi, lalu untuk siapa sebenarnya isu ini terus dimainkan?

Lebih parah, para penuduh bahkan hanya bermodalkan potongan gambar dari internet, yang tidak jelas asal-usulnya. Mereka menjadikan spekulasi sebagai bukti, asumsi sebagai argumen. Ini bukan hanya merendahkan intelektualitas, tapi juga melanggar prinsip dasar dalam berdebat: validitas data dan logika.

Menariknya, di tengah pusaran isu ini, Prabowo Subianto menunjukkan posisi yang tak ambigu. Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara pada 5 Mei 2025, ia secara terbuka menyatakan pembelaan terhadap Jokowi. Dengan nada bergurau, Prabowo menyindir isu ijazah: “Masalah ijazah dipersoalkan, nanti ijazah saya ditanya-tanya.” Sebuah kalimat yang ringan tapi dalam, menyindir betapa tak masuk akalnya polemik ini. Ia juga membantah keras anggapan dirinya adalah “presiden boneka” yang dikendalikan oleh Jokowi. Prabowo tegas mengatakan bahwa komunikasi intens antara dirinya dan Jokowi adalah bagian dari konsultasi wajar dalam masa transisi, dan bentuk penghormatan pada pengalaman pemimpin sebelumnya.

Pernyataan Prabowo ini bukan hanya membungkam narasi kerenggangan antara keduanya, tapi juga memperlihatkan model hubungan ideal antarpemimpin: saling menghargai, bukan saling menguasai. Dalam konteks demokrasi yang masih belajar, hubungan semacam ini sangat berharga. Ia menjadi simbol bahwa rivalitas politik tak harus berakhir dengan permusuhan abadi, melainkan bisa berubah menjadi kolaborasi untuk kemajuan bangsa.

Namun, tidak sedikit pihak yang masih menolak realitas ini. Mereka terus mendorong narasi bahwa Prabowo dan Jokowi hanyalah aliansi politis sesaat. Bahwa Prabowo kehilangan jati diri karena terlalu dekat dengan Jokowi. Tapi tudingan ini justru kontraproduktif. Bukankah lebih baik pemimpin saling menguatkan, daripada terus memperpanjang konflik?

Langkah hukum Jokowi dan dukungan Prabowo harus dibaca sebagai upaya mengembalikan kewarasan dalam ruang publik. Ketika narasi fitnah dipelihara tanpa dasar hukum, maka hukumlah yang harus bicara. Kebebasan berekspresi bukan perisai untuk menyerang kehormatan orang lain. Demokrasi memerlukan kritik, tapi kritik yang dibangun di atas data, bukan kebencian.

Apa yang dilakukan Jokowi hari ini adalah bentuk penghormatan pada dirinya sendiri dan pada institusi yang telah membentuknya. Ia tidak lagi diam ketika kehormatan dirinya terus diinjak. Ia bergerak bukan untuk balas dendam, tetapi untuk menegakkan prinsip bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum—termasuk presiden sekalipun.

Kini masyarakat harus belajar memilah antara kritik dan hasutan. Jangan sampai kebencian membutakan akal sehat. Jangan sampai narasi tanpa bukti menjadi makanan sehari-hari hanya karena kita tak menyukai seseorang. Sebab, jika itu terus terjadi, maka kita sedang menggali lubang besar bagi masa depan demokrasi kita sendiri.

Saatnya kita menyadari bahwa logika harus mengalahkan kebisingan, dan fakta harus mengalahkan fitnah. Langkah hukum Jokowi adalah penegas bahwa fitnah bukan lagi sekadar ocehan yang bisa dimaafkan, tapi kejahatan yang harus dihentikan.

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News