NUKILAN.ID | INDEPTH — Ada yang rela menabung dari sisa sampah demi menginjakkan kaki di Tanah Suci, namun ada pula yang duduk di kursi empuk sambil “mengotori maknanya”. Kesabaran jemaah menunggu panggilan haji menuntut kejujuran para pengelola perjalanan ibadah—“transparansi jangan manis di bibir”.
Sampah mungkin dianggap tak bernilai oleh kebanyakan orang. Namun bagi Legiman (66), warga Dusun Glagahombo, Ngampin, Ambarawa, tumpukan sampah justru menjadi jembatan menuju Makkah. Hampir seluruh hidupnya ia habiskan dengan mendorong gerobak sampah.
Sejak 1976, dari hasil yang serba pas-pasan itu, ia mulai menyisihkan sedikit demi sedikit. Pada 1986 ia memutuskan menabung khusus untuk haji. Hanya seribu rupiah per hari, tetapi ia melakukannya dengan disiplin selama puluhan tahun.
Butiran kecil itu akhirnya terkumpul. Pada 2012 ia berhasil mengumpulkan Rp55 juta, cukup untuk mendaftar haji bersama sang istri. Masa tunggu 13 tahun tak membuatnya berhenti menabung dan bekerja. Dan pada 2025, mimpinya benar-benar terwujud.
Namun tidak semua cerita semanis itu. Zahrotun Ulin Nasroh, Lina (18), harus berangkat menggantikan ayahnya yang telah wafat sebelum jadwal keberangkatan. Ayah Lina menabung sejak 2012 demi memenuhi rukun Islam kelima bersama istrinya. Wasiat itulah yang akhirnya ia tunaikan, meski dengan hati berat.
Dari Legiman hingga Lina, terlihat betapa panjang dan berat perjuangan sebagian masyarakat untuk bisa berhaji. Karena itu, bayangkan kecewanya mereka ketika setibanya di Tanah Suci justru dihadapkan pada pelayanan yang semrawut.
Kekecewaan ini bukan hal baru. Tahun demi tahun, keluhan soal buruknya penyelenggaraan ibadah haji terus muncul. Penantian panjang jemaah kadang terbayar dengan perjalanan yang penuh ketidaknyamanan. Transportasi acak-acakan membuat sejumlah jemaah terpaksa berjalan kaki belasan kilometer saat wukuf dan mabit. Banyak pula petugas yang belum siap menjalankan tugasnya.
Kondisi makin rumit dengan sistem kloter yang dihapus, lalu diganti kelompok syarikah—mitra asal Arab Saudi—yang justru membuat banyak jemaah tersesat atau terpisah dari rombongan. Kekacauan berulang inilah yang mendorong pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), yang kemudian naik status menjadi Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj).
Tetapi lembaga baru belum otomatis menjamin perubahan. Isu dugaan kongkalikong tender haji 2026 justru menyeret Kemenhaj ke dalam sorotan publik. Dalam suasana ketidakpastian ini, cerita-cerita seperti Legiman dan Lina menjadi pengingat bahwa haji bukan sekadar administrasi atau tender proyek. Di balik setiap nama dalam daftar jemaah, ada puluhan tahun pengorbanan, harapan, dan doa.
Wajah Baru, Gaya Lama
Harapan besar sempat disematkan pada berdirinya lembaga baru urusan haji. Publik membayangkan perubahan signifikan dalam tata kelola, khususnya dari sisi keterbukaan informasi. Namun di lapangan, ekspektasi itu belum sepenuhnya terjawab. Pola kerja lembaga anyar tersebut dinilai tak berbeda jauh dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama—tertutup dan minim transparansi.
“Kami melihat cara menyajikan ini tidak ada perubahan, masih tetap dengan Dirjen PHU cara menyajikannya. Polanya masih sama,” ujar Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, saat rapat kerja bersama Kemenhaj di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/10/2025).
Pernyataan Marwan bukan tanpa alasan. Sejumlah sorotan kini tertuju pada proses tender pemilihan syarikah untuk penyelenggaraan haji 2026. Dua perusahaan—Rakeen Mashariq Al Mutamayizah Company For Pilgrim Service dan Al Bait Guests—ditetapkan sebagai pemenang tender, meski keduanya memiliki rekam jejak buruk pada pelaksanaan haji 2024 dan 2025. Keputusan tersebut memunculkan dugaan praktik kongkalikong serta mendorong desakan agar Kemenhaj membuka seluruh proses secara transparan.
Keresahan juga datang dari anggota Komisi VIII DPR lainnya. “Konstituen saya juga nanya, bagaimana syarikah ini kok dipilih lagi. Karena kita ketahui dua syarikah yang dipilih ini, dua syarikah yang bermasalah. Yang tidak mengeluarkan nusuk ini, di dua syarikah ini,” ujar Ansari dari Fraksi PDIP.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, menilai evaluasi menyeluruh wajib dilakukan. DPR, kata dia, memang tak terlibat dalam proses kontrak dengan penyedia layanan, namun tetap berkepentingan memastikan pelayanan haji tidak menurun tahun depan.
“DPR tidak ikut serta dalam urusan kontrak dengan syarikah. Itu clear wewenang dan tupoksinya Kementerian Haji dan Umrah. Tapi kami akan bersama-sama untuk memastikan di Haji 2026 itu pelaksanaannya, layanannya itu tidak dikurangi. Apabila perlu harus ditingkatkan dan memang harus ditingkatkan,” kata Abidin.
Nada serupa disampaikan eks anggota Pansus Haji 2024, Luluk Nur Hamidah. Menurutnya, pemerintah semestinya tidak lagi memberi ruang bagi perusahaan yang memiliki catatan buruk.
“Pemerintah harusnya memberikan efek jera bagi para pihak yang menjadi mitra tapi tidak menjalankan layanan sesuai ketentuan. Transparansi dan akuntabilitas sangat penting dalam penyelenggaraan haji yang lebih baik,” ujarnya kepada Inilah.com.
Reaksi Parlemen
Parlemen kembali menunjukkan wajah yang tak sepenuhnya bersih. Transparansi yang selama ini mereka gembar-gemborkan justru tak tampak ketika menyangkut urusan sensitif: penetapan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Pada Selasa malam (28/10/2025), rapat krusial itu digelar secara tertutup—tanpa akses publik maupun media.
Pengamat tata kelola haji, Ade Marfuddin, menyatakan keheranannya atas praktik tersebut. Baginya, pembahasan komponen pembiayaan yang variabelnya jelas seharusnya tidak berlangsung di ruang yang diselimuti kerahasiaan.
“Kalau bicara masalah komponen pembiayaan, yang variabelnya sudah jelas, itu tidak pantas kalau dibicarakan di ruang tertutup. Harusnya terbuka saja. Biar masyarakat tahu variabelnya apa saja, kecuali misalnya ada deal-deal lain,” ucapnya tegas kepada Inilah.com.
Hasil rapat yang digelar di balik pintu tertutup itu pun tidak membawa kejutan berarti. DPR dan pemerintah memutuskan penurunan biaya haji sebesar Rp2 juta, sehingga calon jemaah kini harus membayar Rp54.193.806. Namun publik tetap bertanya-tanya: pengurangan itu sebenarnya berasal dari pos mana? Salah satu isu yang mencuat adalah tingginya harga tiket pesawat dalam paket haji, padahal harga tiket reguler di luar musim hanya sekitar Rp7 juta.
Ade mengingatkan bahwa penyelenggaraan haji tahun 2026 akan menjadi ujian besar—bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi reputasi Presiden Prabowo Subianto yang menjadikan perbaikan tata kelola haji sebagai salah satu komitmen awal pemerintahannya.
“Kalau ini dicacati, dikotori oleh praktik-praktik yang tidak terpuji, ya otomatis ini adalah membuat mencoreng nama Prabowo, nama lembaga baru dan juga personal,” imbuhnya.
Dugaan Kongkalikong dalam Tender Operator Layanan Haji
Sejumlah dugaan praktik tidak wajar kembali membayangi proses tender operator layanan jemaah haji Indonesia. Informasi yang dihimpun Inilah.com memperlihatkan bahwa dari 18 perusahaan yang mengikuti tender, hanya enam yang dinyatakan lolos seleksi. Dalam daftar awal, Almasia berada di urutan teratas, disusul Al Bait Guests, Rawaf Mina, Rifat Rifa’ah, dan Rakeen.
Namun dinamika berubah pada malam penentuan. Seorang staf Kementerian Haji di Mekah, berinisial SR, disebut menerima telepon dari Jakarta. Dari sumber internal, panggilan itu berasal dari seorang pejabat tinggi berinisial DN, yang dikabarkan mendapat arahan dari kolega di DPR, DS. Instruksinya jelas: memenangkan Rakeen dan Al Bait Guests.
Tak lama setelah itu, kedua perusahaan tersebut menurunkan harga penawaran menjadi 2.200 riyal, melampaui Almasia yang sebelumnya unggul. Ketika Almasia mencoba menyesuaikan harga, langkahnya ditolak dengan alasan kontrak telah disahkan.
Di balik penetapan pemenang, kabar lain berembus: berlangsung rapat internal yang dipimpin seorang politikus partai besar. Dalam pertemuan tersebut, DS dan DN disebut mendapat teguran keras karena manuver tender yang mencuat ke publik. Presiden Prabowo bahkan dikabarkan ikut mendengarkan jalannya rapat melalui sambungan telepon.
Kontrak bernilai besar untuk jangka tiga tahun itu juga memunculkan dugaan adanya jatah fee 125 riyal per jemaah. Jika dikalikan dengan 220.000 jemaah Indonesia, nilainya mencapai sekitar Rp121,8 miliar.
Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menampik isu tersebut. Ia menyebut kritik yang beredar tidak lebih dari serangan pihak yang kalah bersaing.
“Rakeen dan Al Bait disebut jelek pelaksanaannya di 2024, 2025. Mereka itu enggak ikutan (di 2024) multisyarikah baru dilakukan di 2025, tapi disebutkan dua (syarikah) ini sudah melayani sejak 2024,” ujarnya memberikan pembelaan.
Dahnil melanjutkan bahwa isu yang berkembang hanya upaya menggiring opini. “(Ini) ingin melakukan framing, itu enggak sehat lho. Kalau ada temuan yang betul-betul faktual laporkan, jangan untuk clickbait atau diduga (isu ini) pesanan mereka yang gagal berkompetisi maka dibuatlah berita-berita yang merugikan jemaah kita nantinya. Yang jelas komitmen Pak Menteri, komitmen saya itu memastikan proses bersih dan transparan,” tutur dia.
Namun catatan lapangan menunjukkan rekam jejak yang tak seluruhnya mulus. Al Bait Guests diketahui telah menjadi mitra resmi platform Nusuk sejak 2023. Pada 2024, mereka menangani jemaah haji plus bersama Mashariq dan Rawaf Mina. Pada periode itu, muncul berbagai laporan terkait keterlambatan layanan, tenda yang sesak, hingga antrean panjang di toilet.
Keluhan serupa muncul kembali pada penyelenggaraan 2025, saat sistem multisyarikah mulai diterapkan. Al Bait Guests dan Rakeen menjadi bagian dari operator. Ribuan jemaah mengalami keterlambatan distribusi kartu Nusuk, makanan, serta transportasi menuju Arafah dan Mina. Ada yang kehilangan tenda, sementara sebagian lainnya harus tidur berdesakan tanpa ruang istirahat memadai.
Di tengah hiruk-pikuk penyelenggaraan rukun Islam kelima, persoalan ini menyingkap kembali pertanyaan mendasar: seberapa bersih tata kelola haji Indonesia? Ibadah haji bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga ujian atas kejujuran para pemegang amanah yang mengelolanya. Kisah Legiman yang bertahun-tahun menabung dari sisa-sisa sampah, hingga jutaan umat yang berharap mendapatkan layanan layak, menjadi pengingat bahwa kesucian bukan hanya perkara ihram putih, melainkan beningnya hati dan tata kelola.
Jika reformasi penyelenggaraan haji hanya berganti nama tanpa perubahan nurani, maka penantian panjang rakyat untuk pelayanan yang lebih adil dan manusiawi akan terus disisipi rasa getir. (XRQ)
Reporter: AKIL





