NUKILAN.ID | FEATURE — Amal baru berusia 26 tahun. Di usia semuda itu, seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan lebih leluasa. Namun, bagi laki-laki yang sehari-hari mengajar sebagai guru kontrak di sebuah sekolah swasta di Banda Aceh ini, hidup bukan perkara ringan.
Sudah dua kali ia menjalani prosedur endoskopi akibat penyakit lambung yang menggerogoti tubuhnya sejak kuliah. Tubuhnya yang gembul nyaris selalu tumbang setiap bulan. Ia kerap harus menjalani rawat inap akibat serangan mendadak yang membuatnya pingsan di tempat. Bahkan, ia pernah tak sadarkan diri di dalam ojek online, hingga sopirnya membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Saya sudah tidak bisa hitung lagi berapa kali dirawat. Minimal sekali sebulan,” ujar Amal, ketika ditemui di ruang istirahat guru pada Kamis (17/7/2025).
Amal tampak lelah, tetapi senyum di wajahnya tetap hangat. Ia sudah terbiasa dengan rasa nyeri yang muncul tiba-tiba di perut bagian atas. Asam lambungnya bisa naik tanpa aba-aba. Kadang, saat sedang mengajar, ia harus meminta waktu sejenak kepada murid-muridnya.
“Pernah saya muntah darah, langsung dibawa ke IGD,” katanya, menahan napas. “Tapi saya bersyukur, semua pengobatan saya selama ini ditanggung penuh oleh BPJS.”
Amal merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) segmen mandiri. Sejak kuliah, orang tuanya telah mendaftarkannya sebagai peserta. Kini, meski berstatus sebagai guru kontrak dengan penghasilan yang tidak menentu, ia tetap membayar iuran setiap bulan agar status kepesertaannya aktif.
“Kalau sampai nonaktif, saya panik sendiri. Karena saya tidak tahu kapan akan kambuh,” katanya sambil tertawa kecil.
Amal tidak hanya satu dua kali harus berpindah-pindah rumah sakit. Karena penyakitnya kerap datang tiba-tiba, ia kadang harus dirawat di rumah sakit mana pun yang paling dekat saat itu. Beruntung, semua rumah sakit yang pernah ia datangi telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini memungkinkannya untuk fokus pada proses penyembuhan, bukan pada biaya.
“Pernah dirawat di RSUZA, pernah juga di RS Meuraxa, bahkan bukan sekali dua kali di rumah sakit swasta. Alhamdulillah semua ditanggung,” jelasnya.
Ia mengaku, penyakitnya tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga mental. Pernah satu waktu, ketika sedang mengurus administrasi rumah sakit, ia merasa malu karena hanya berstatus sebagai peserta kelas tiga. Namun, belakangan ia mulai berdamai dengan hal itu.
“Apapun kelasnya, yang penting saya bisa tetap berobat. JKN itu penyelamat. Tanpa itu, saya tidak tahu bagaimana bisa membayar endoskopi dua kali. Biayanya jutaan,” katanya.
Amal kini menjadikan pengalamannya sebagai pelajaran. Setiap kali berbincang dengan teman-temannya yang belum menjadi peserta JKN, ia selalu menyarankan agar mereka segera mendaftar. Menurut Amal, banyak yang masih menganggap remeh, terutama karena merasa masih muda dan sehat.
“Padahal penyakit tidak lihat umur. Saya sendiri kena ini sejak usia 21. Kalau bukan karena JKN, mungkin saya sudah putus asa sejak lama,” katanya sambil menatap kosong ke luar jendela.
Amal tinggal di sebuah kos-kosan kecil bersama temannya di kawasan Syiah Kuala, Banda Aceh. Ayah dan ibunya berjualan kue di kampung untuk membantu biaya hidup mereka. Karena itu, Amal tidak ingin menjadi beban. Ia terus berusaha bekerja dan membayar iuran JKN secara mandiri.
Ia kini rutin menjalani kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam setiap dua bulan. Pola makannya pun sangat dijaga. Ia harus menjalani diet ketat, menghindari makanan pedas, asam, kopi, dan makanan berminyak. Kadang, murid-muridnya membawa makanan ringan ke kelas, tapi ia hanya bisa menolak dengan senyum.
“Sakit lambung ini sangat membatasi, tetapi saya tidak ingin menyerah,” ujarnya.
Bagi Amal, program JKN bukan sekadar jaminan kesehatan, melainkan jaring pengaman yang menjaga hidupnya tetap berjalan. Ia berharap semua orang bisa merasakan manfaat yang sama, dan yang lebih penting, sadar betapa pentingnya menjadi peserta aktif.
“Saya cuma ingin bilang ke semua orang, jangan tunggu sakit. Jangan tunggu parah. Daftar dari sekarang,” tutupnya.
Langit Banda Aceh siang itu mulai mendung. Di ujung obrolan, Amal merapikan spidol dan buku tulis, bersiap kembali masuk kelas. Dua puluh lebih siswanya sudah menanti. Mereka mungkin tak tahu bahwa guru yang berdiri di hadapan mereka sedang menahan nyeri di perutnya.
Namun di balik tubuhnya yang gembul, ada keteguhan yang tak bisa diukur oleh nominal. Sebuah semangat untuk tetap mengajar, tetap hidup, dan terus percaya bahwa hari esok masih ada, bersama JKN.
Reporter: Akil