NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, kembali menjadi sorotan publik setelah mengeluarkan ultimatum keras terhadap aktivitas tambang ilegal yang kian marak di sejumlah kabupaten.
Dalam pernyataannya, Mualem memberi waktu 2×24 jam bagi pelaku tambang untuk menarik seluruh alat berat dari kawasan hutan Aceh. Namun, setelah lebih dari sepekan berlalu, muncul pertanyaan dari masyarakat: apakah ketegasan itu sudah berwujud tindakan nyata, atau masih sebatas retorika politik?
Sejak ultimatum tersebut diumumkan, Pemerintah Aceh membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) untuk menertibkan tambang ilegal. Dinas terkait juga diminta melakukan pendataan izin usaha yang berpotensi bermasalah. Sejumlah operasi penertiban telah dilakukan — salah satunya di Kabupaten Pidie, di mana aparat kepolisian menyita satu unit ekskavator dan menahan tiga pelaku tambang emas ilegal.
Namun, di sisi lain, laporan masyarakat justru menunjukkan bahwa aktivitas tambang ilegal masih marak di beberapa wilayah seperti Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Tengah. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa perintah tegas Mualem belum sepenuhnya diikuti tindakan nyata di lapangan.
Pengamat kebijakan publik, M. Ikram Al Ghifari, menilai langkah Mualem sejauh ini masih bersifat simbolik dan belum menyentuh akar persoalan.
“Langkah Mualem patut diapresiasi, tapi publik butuh bukti, bukan sekadar kata. Ketegasan akan berarti jika diikuti keberanian menindak aktor besar di balik tambang ilegal,” ujar Ikram, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, persoalan tambang ilegal di Aceh sudah meluas menjadi jaringan ekonomi gelap yang melibatkan banyak kepentingan, bukan sekadar persoalan perizinan.
“Kalau Mualem ingin mengendalikan situasi ini, ia harus memutus rantai dari atas — bukan hanya menindak pekerja lapangan. Masalah ini tidak akan selesai tanpa transparansi dan keberanian hukum,” tambahnya.
Ikram juga menyoroti pentingnya pendekatan sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas tambang ilegal.
“Menertibkan tanpa memberi solusi ekonomi hanya akan memindahkan masalah. Pemerintah harus membuka ruang usaha legal bagi warga agar tidak terjebak kembali dalam aktivitas ilegal,” jelasnya.
Meski Mualem telah menginstruksikan penarikan alat berat serta mengancam sanksi bagi pihak yang melanggar, hingga kini belum ada laporan publik yang menjelaskan berapa banyak ekskavator yang benar-benar telah ditarik atau disita.
Sementara itu, Polda Aceh menyatakan masih menunggu data lengkap dari DPR Aceh terkait lokasi-lokasi tambang ilegal yang akan menjadi sasaran penertiban. Kondisi ini memperlihatkan masih lemahnya koordinasi antarinstansi, sementara aktivitas tambang disebut terus berjalan di lapangan.
Langkah Mualem memang memberi sinyal awal terhadap upaya penertiban tambang ilegal di Aceh. Namun, publik kini menunggu pembuktian lebih jauh — apakah kebijakan tersebut benar-benar mampu memutus rantai ekonomi gelap yang selama ini menjerat hutan Aceh, atau justru akan menjadi satu lagi “ketegasan di atas podium” yang menguap tanpa hasil.
Editor: Akil