NUKILAN.id | Feature – Di sebuah sudut pedesaan Aceh, ketika matahari pagi mulai memanjakan bumi dengan cahayanya yang lembut, seorang perempuan tua bernama Mak Salma duduk di depan alat tenunnya. Tangan-tangannya yang keriput, namun cekatan, menari di antara benang-benang warna-warni, menciptakan pola-pola indah yang bercerita tentang tradisi, cinta, dan harapan.
Tenun songket Aceh bukan sekadar kain; ia adalah kanvas yang merekam sejarah dan keindahan alam. Setiap helai benangnya membawa kisah yang tak tertulis, sebuah warisan yang dirajut dengan dedikasi dan seni yang mendalam.
Kerajinan tenun songket Aceh berakar jauh ke masa lalu. Ia lahir dari persilangan budaya yang kaya, hasil pertemuan bangsa Melayu, Arab, dan India di jalur perdagangan yang melintasi Serambi Mekkah. Pola dan tekniknya mencerminkan harmoni dari pengaruh-pengaruh tersebut, tetapi tetap memancarkan identitas khas Aceh.
Mak Salma, seorang penenun yang telah mengabdikan dirinya selama lebih dari lima dekade, berkata, “Songket ini bukan hanya kain, tetapi juga kehidupan. Dalam setiap pola, ada doa. Dalam setiap warna, ada harapan.”
Songket Aceh biasanya terbuat dari benang sutra atau katun yang ditenun dengan tambahan benang emas atau perak. Pola-pola geometris dan motif flora, seperti pucuk rebung atau bunga melati, menjadi ciri khasnya. Tidak hanya indah, kain ini juga memiliki makna filosofis yang dalam, mencerminkan hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta.
Proses yang Penuh Kesabaran
Menyaksikan proses pembuatan songket Aceh adalah seperti menyelami meditasi yang tenang namun penuh kesungguhan. Mak Salma mengundangku ke rumahnya, sebuah bangunan kayu sederhana yang dihiasi dengan alat tenun tradisional.
“Setiap kain membutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk selesai,” katanya sambil mulai merangkai benang pada alat tenunnya.
Tahapan pertama adalah pemintalan benang, yang harus dilakukan dengan hati-hati agar hasilnya rata dan kuat. Setelah itu, benang diwarnai dengan pewarna alami yang diekstrak dari tumbuhan lokal, seperti daun nila untuk warna biru atau kulit kayu mahoni untuk warna cokelat.
“Aroma daun-daun ini mengingatkanku pada hutan di masa kecil,” ujar Mak Salma sambil tersenyum kecil.
Proses menenun dimulai setelah benang siap. Mak Salma menunjukkan bagaimana ia menyisipkan benang emas di antara dasar kain, menciptakan pola-pola indah yang menyerupai lukisan. Setiap sisipan membutuhkan perhatian penuh, karena satu kesalahan kecil bisa merusak seluruh desain.
Pesan di Balik Setiap Motif
Setelah berjam-jam menenun, sebuah motif mulai terbentuk. Mak Salma menjelaskan bahwa motif itu adalah Pucuk Rebung, simbol pertumbuhan dan harapan.
“Motif ini sering digunakan dalam acara pernikahan,” katanya. “Ia melambangkan harapan agar pasangan baru selalu tumbuh bersama dalam cinta dan kebahagiaan.”
Ada pula motif bunga Jeumpa (Cempaka), bunga khas Aceh yang melambangkan kesucian dan keindahan. Songket dengan motif ini sering dipakai dalam upacara adat atau keagamaan, sebagai bentuk penghormatan kepada tradisi.
Setiap motif memiliki maknanya sendiri, dan para penenun seperti Mak Salma belajar memaknainya sejak kecil. Mereka percaya bahwa kain songket bukan hanya keindahan fisik, tetapi juga medium untuk menyampaikan doa dan harapan.
Songket dalam Kehidupan Masyarakat Aceh
Songket Aceh memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ia sering digunakan dalam upacara adat, pernikahan, dan perayaan keagamaan. Kain ini melambangkan status sosial dan kehormatan, sehingga sering diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai benda pusaka.
Di sebuah acara adat yang aku hadiri di Aceh Besar, aku melihat bagaimana songket menjadi pusat perhatian. Para perempuan mengenakan kain ini dengan anggun, melilitkannya di pinggang atau menjadikannya selendang. Warnanya yang cerah dan pola yang rumit menambah keagungan setiap gerakan mereka.
Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menggunakan songket. Di masa lalu, hanya kaum bangsawan yang bisa memesan kain ini, karena harga dan proses pembuatannya yang mahal. Kini, meskipun sudah lebih terjangkau, songket tetap dianggap sebagai barang mewah yang memancarkan prestise.
Tantangan di Era Modern
Meski indah dan penuh makna, kerajinan tenun songket Aceh menghadapi tantangan besar di era modern. Banyak generasi muda yang lebih tertarik pada pakaian siap pakai atau kain impor yang lebih murah.
“Kadang, saya merasa sedih,” kata Mak Salma dengan nada lirih. “Anak-anak sekarang tidak mau belajar menenun. Mereka bilang itu terlalu sulit dan memakan waktu.”
Selain itu, maraknya produksi massal juga mengancam keberlangsungan songket tradisional. Mesin modern mampu menghasilkan kain dengan motif serupa dalam waktu singkat, meskipun tanpa sentuhan seni dan makna yang mendalam.
Namun, di tengah tantangan ini, ada harapan. Beberapa komunitas dan pemerintah lokal mulai menggalakkan pelatihan menenun bagi generasi muda. Festival dan pameran juga sering diadakan untuk memperkenalkan keindahan songket Aceh kepada dunia.
Membawa Songket ke Dunia Internasional
Usaha melestarikan songket tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Beberapa desainer muda Aceh mencoba membawa kain ini ke panggung mode internasional. Mereka menggabungkan pola tradisional dengan desain modern, menciptakan busana yang menarik perhatian global.
“Saya ingin dunia tahu bahwa songket Aceh adalah karya seni yang luar biasa,” kata Faisal, seorang desainer lokal yang telah memamerkan koleksi songketnya di luar negeri.
Upaya ini tidak hanya membantu mempromosikan songket, tetapi juga memberikan penghasilan tambahan bagi para penenun seperti Mak Salma.
Keindahan yang Abadi
Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Mak Salma menyelesaikan sesi menenunnya. Ia menunjukkan padaku selembar kain yang hampir selesai—songket berwarna merah marun dengan pola bunga Jeumpa.
“Ini adalah doa saya untuk cucu saya,” katanya. “Semoga ia tumbuh menjadi orang yang kuat dan penuh cinta.”
Kain itu bukan hanya selembar kain. Ia adalah karya seni, sebuah cerita, dan sebuah harapan yang dirajut dalam harmoni warna dan benang.
Dalam keheningan sore itu, aku menyadari bahwa tenun songket Aceh bukan sekadar tradisi yang indah. Ia adalah cerminan jiwa masyarakatnya—sederhana tetapi penuh makna, halus tetapi kuat, berakar pada masa lalu tetapi tetap relevan untuk masa depan.
Songket Aceh, dengan semua keindahannya, adalah pengingat bahwa di tengah dunia yang berubah cepat, ada nilai-nilai yang tetap abadi. Dan selama ada tangan-tangan seperti Mak Salma yang setia menenun, harmoni warna dalam setiap benang itu akan terus bercerita, menyampaikan pesan cinta dari tanah Aceh kepada dunia.