Kenaikan Gaji Hakim Bukan Solusi Atasi Korupsi Peradilan

Share

NUKILAN.ID | JAKARTA — Namun, wacana tersebut menuai respons kritis dari sejumlah kalangan. Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Martua Siagian. Ia menilai bahwa kenaikan gaji hakim bukanlah solusi tunggal dalam upaya pemberantasan korupsi di lembaga peradilan.

“Selama ini bukan kebutuhan yang selalu melatarbelakangi korupsi para ‘Yang Mulia’ ini. Justru keserakahan dan kesempatan yang terbuka lebar menjadi penyebab utama,” kata Nicholas kepada Nukilan.id, Jumat (10/6/2025).

Nicholas merujuk pada sejumlah kasus besar yang membuktikan bahwa integritas hakim kerap kali runtuh bukan karena tekanan ekonomi, melainkan karena godaan kekuasaan dan uang.

Salah satu contohnya adalah kasus yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, yang diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar demi menjatuhkan vonis bebas terhadap tiga perusahaan raksasa dalam kasus ekspor CPO. Parahnya, menurut Nicholas, dana tersebut tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi juga mengalir ke sejumlah pihak di internal pengadilan.

“Dana tersebut tidak hanya dinikmati sendiri, tapi juga dibagi ke tiga hakim lain, termasuk Djuyamto, yang dikenal sebagai akademisi progresif,” lanjutnya.

Nama Djuyamto, menurut Nicholas, sebelumnya dikenal harum sebagai pemikir hukum responsif. Disertasinya di Universitas Sebelas Maret (UNS) bahkan mengangkat topik pemberantasan korupsi melalui model pengaturan penetapan tersangka oleh hakim. Namun, idealisme yang tercermin dalam karya ilmiahnya justru berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.

“Siapa sangka, intelektual yang menjanjikan ini justru tenggelam dalam kubangan korupsi yang coba ia kritik. Tak tanggung-tanggung, Rp 18 miliar disebut mengalir ke rekeningnya,” ungkap Nicholas.

Ia pun menilai, fenomena ini membuka tabir yang lebih kelam tentang relasi antara akademisi dan birokrasi. Menurut Nicholas, gelar akademik tak lagi menjadi tolok ukur moralitas maupun kapasitas intelektual seseorang di dalam sistem pemerintahan maupun peradilan, bahkan kerap kali hanya dijadikan alat legitimasi semu.

“Di tubuh aparatur negara, gelar ‘doktor’ sering kali hanya menjadi ornamen kosmetik birokrasi, sekadar pelengkap nama di kop surat, kartu identitas, bahkan ‘alat legitimasi semu’, demi kepentingan kenaikan jabatan, tunjangan, atau pangkat, bukan representasi moralitas atau kapasitas intelektual,” tegasnya.

Nicholas juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap dunia akademik yang, menurutnya, semakin kehilangan sosok-sosok intelektual sejati. Ia menyimpulkan bahwa kondisi ini mencerminkan krisis dualitas dalam tubuh birokrasi dan lembaga peradilan Indonesia.

“Situasi ini menandai krisis dualitas dalam birokrasi dan lembaga peradilan kita. Di satu sisi, mereka bersolek dengan jargon antikorupsi dan penguatan integritas,” kata Nicholas.

Namun, lanjutnya, banyak di antara mereka justru berperan sebagai orkestrator korupsi yang begitu rapi dan terselubung. Kondisi ini membuat praktik korupsi di dalam sistem menjadi sangat sulit dijangkau oleh aparat penegak hukum (APH).

Dengan demikian, menurut Nicholas, publik berhak untuk curiga: benarkah semua pelaku korupsi sudah terungkap? Atau masih banyak yang bermain dalam bayang-bayang sistem tanpa pernah tersentuh hukum? (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News