Nukilan.id – Kejaksaan Agung RI menyebutkan salah satu hambatan pelaksanaan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual anak adalah penolakan dari para dokter untuk melakukan kebiri kimia, karena bertentangan dengan kode etik.
Beberapa pihak menilai penerbitan regulasi mengenai hukuman kebiri masih belum jelas
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengungkapkan kendala dari pelaksanaan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual anak. Salah satunya adalah para dokter yang menolak melakukan eksekusi kebiri kimia karena bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran.
“Proses eksekusi kebiri kimia, ikatan profesi dokter menolak mengeksekusi hukuman kebiri karena itu bertentangan dengan kode etik dan disiplin profesi kedokteran yang berlaku universal,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadli Zumhana dalam diskusi virtual, Selasa (28/12).
“Dokter-dokter yang tak tergabung dengan IDI juga terikat dengan etika ini. Begitu pula dokter kepolisian dan militer,” sambungnya.
Pelaksanaan kebiri kimia dalam Peraturan Pemerintah
Fadli menjelaskan cara pelaksanaan kebiri kimia sendiri sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Dalam PP tersebut, disebutkan eksekusi kebiri kimia turut melibatkan petugas yang berkompetensi di bidang medis dan psikiatri.
Fadli mengatakan jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan tindakan kebiri kimia. Namun, hal tersebut justru menimbulkan permasalahan tersendiri.
“Pasal 9 huruf D, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan tindakan kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan. Tentunya hal tersebut menjadi permasalahan tersendiri ketika jaksa selaku eksekutor putusan hakim meminta dokter melaksanakan tindakan kebiri kimia, sementara tugas tersebut bertentangan dengan kode etik profesi kedokteran. Di saat yang bersamaan, pelaksanaan putusan hakim juga merupakan satu kewajiban UU,” terang Fadli.
Lebih lanjut, Fadli menyebut ada juga pihak-pihak yang menilai penerbitan regulasi mengenai hukuman kebiri masih belum jelas. Misalnya seperti mulai dari proses pelaksanaan, pengawasan, hingga pendanaannya.
“Terlebih terdapat kemungkinan terpidana dengan putusan peninjauan kembali, dinyatakan tidak bersalah melakukan tindak pidana. Apakah terdapat mekanisme rehabilitasi dan atau ganti kerugian terhadap terpidana yang sudah terlanjur dieksekusi,” imbuhnya. [dw.com]