Kebijakan Iklim di Aceh Utamakan Responsif Gender

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) untuk Gender dan Perubahan Iklim, Chandra Sugarda, menekankan pentingnya kebijakan iklim yang lebih inklusif dan responsif gender di Aceh. Hal itu disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Kebijakan Responsif Gender dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Transisi Energi” di Banda Aceh, Selasa (11/2/2025).

Menurut Chandra, Aceh telah memiliki Kebijakan Transfer Anggaran Berbasis Ekologi (TAPE) melalui Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2022. Kebijakan ini memberikan insentif anggaran kepada kabupaten/kota yang menunjukkan kinerja baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu indikator penilaiannya adalah perlindungan perempuan dan anak.

“Dalam TAPE sudah ada aspek perlindungan perempuan dan anak, tetapi masih bisa diperdalam agar lebih responsif gender,” ujar Chandra.

Chandra mengusulkan beberapa langkah untuk memastikan kebijakan mitigasi perubahan iklim di Aceh lebih berperspektif gender. Salah satunya adalah memasukkan indikator yang lebih spesifik untuk mengukur dampak kebijakan lingkungan terhadap perempuan, seperti keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan dan pertanian berkelanjutan.

“Kabupaten/kota yang mengadopsi program adaptasi berbasis komunitas yang dibutuhkan oleh perempuan juga sebaiknya mendapatkan insentif tambahan,” katanya.

Selain itu, Chandra menekankan pentingnya pendanaan iklim yang responsif gender. Ia menyarankan adanya alokasi dana khusus bagi usaha ekonomi perempuan di sektor ramah lingkungan, seperti pertanian organik dan energi terbarukan berbasis komunitas.

“Jika pendanaan diberikan secara umum tanpa mempertimbangkan gender, maka yang lebih banyak mengaksesnya biasanya laki-laki,” jelasnya.

Chandra juga menyoroti perlunya peningkatan kapasitas dan partisipasi perempuan dalam perencanaan kebijakan iklim, pembangunan infrastruktur adaptasi yang mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan, serta pengembangan mekanisme perlindungan sosial bagi perempuan terdampak perubahan iklim.

“Asuransi iklim dan bantuan langsung tunai harus memastikan perempuan yang kehilangan mata pencaharian akibat perubahan iklim dapat mengakses bantuan tersebut,” tambahnya.

Ketua Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala (USK), Suraiya Kamarazzuaman, mengatakan bahwa Aceh sebenarnya sudah memiliki kebijakan yang mengedepankan gender. Namun, partisipasi perempuan dalam aksi perubahan iklim masih sangat terbatas.

“Dari riset yang kami lakukan di delapan kabupaten/kota di Aceh, perempuan hampir tidak pernah terlibat dalam perencanaan kebijakan. Mereka hanya berperan dalam pelaksanaan, itu pun dalam program beranggaran kecil dan bersifat sukarela. Untuk mentoring, mereka juga tidak terlibat,” ungkap Suraiya.

Ia juga menyoroti bahwa pendekatan mitigasi bencana dan perubahan iklim sejak pasca-tsunami masih belum berubah. Sosialisasi dan edukasi lebih sering menyasar laki-laki, meskipun perempuan adalah kelompok yang paling berisiko terdampak.

Sebagai contoh, Suraiya menyebutkan bencana kekeringan di Lhoknga, Aceh Besar, dalam beberapa tahun terakhir yang berdampak besar pada perempuan. Kekeringan menyebabkan beban domestik perempuan meningkat secara drastis.

“Saya mendapati beberapa ibu-ibu yang mengalami pendarahan terus-menerus karena harus mengangkut air. Ada juga yang kesehatannya terganggu karena beban domestik yang semakin berat,” katanya.

Suraiya menegaskan bahwa kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Aceh harus lebih memperhatikan realitas yang dihadapi perempuan. Dengan demikian, program yang diterapkan tidak hanya efektif dalam menjaga lingkungan, tetapi juga memberikan perlindungan bagi kelompok yang paling rentan terdampak.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News