NUKILAN.id | Opini – “Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara keliru, dan menerapkan solusi yang salah.” Kutipan klasik pelawak Groucho Marx ini semakin relevan ketika politik berada di tangan penguasa yang otoriter. Bukan hanya solusi yang keliru terhadap berbagai problem sosial, tetapi juga upaya membungkam kritik dan ekspresi publik. Sensor terhadap pameran lukisan Yosu Prapto di Galeri Nasional pada akhir Desember 2024 adalah bukti nyata bahwa seni masih menjadi momok bagi penguasa yang alergi terhadap kebebasan berekspresi.
Alasan pemerintah menutup pameran itu terdengar tak masuk akal: karya-karya Yosu dianggap bermuatan politis karena menggambarkan mantan Presiden Joko Widodo telanjang, dijilati para pendukungnya, serta sosok raja yang bersetubuh dengan laki-laki. Padahal, semua karya seni pada dasarnya memiliki muatan politik. Penulis drama asal Amerika Serikat, August Wilson, pernah mengatakan bahwa seni adalah pernyataan dan renungan atas realitas yang terjadi di masyarakat. Yosu hanya menafsirkan apa yang terjadi di ruang publik dan menuangkannya ke atas kanvas. Maka, ketika Menteri Kebudayaan Fand John menyempitkan tafsir seni hanya sebagai sesuatu yang “tidak pantas” dan “memaki penguasa,” ini adalah bentuk sensor yang berbahaya.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi adalah kunci utama berkembangnya seni. Korea Selatan menjadi contoh nyata bagaimana pencabutan sensor mampu melahirkan industri kreatif yang mendunia. Sejak Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mencabut undang-undang sensor pada 1996, industri film dan kesenian di negara itu berkembang pesat. Kini, film-film Korea hanya tunduk pada regulasi pemeringkatan usia, tanpa ada ancaman pelarangan oleh pemerintah. Hasilnya, film seperti Parasite karya Bong Joon-ho mampu meraih Oscar pada 2020, dan film-film Korea lainnya dengan leluasa mengkritik korupsi di lembaga hukum, militer, hingga eksekutif tanpa takut disensor.
Sebaliknya, Indonesia justru semakin mundur ke zaman otokrasi. Jika penguasa terus-menerus membelenggu seni dengan sensor dan pelarangan, maka ruang bagi ekspresi kreatif akan semakin menyempit. Padahal, seni justru menjadi medium bagi publik untuk keluar dari kepengapan politik yang penuh intrik dan kepentingan pragmatis. Seni adalah ruang bebas di mana persoalan agraria, kekerasan terhadap anak, hingga krisis ekologi bisa diungkap dengan perspektif baru.
Terlepas dari belenggu politik, para seniman Indonesia tetap menemukan cara untuk berkarya. Dalam edisi khusus “Tokoh Seni Pilihan Tempo 2024,” terlihat bahwa seni di negeri ini masih memiliki harapan. Natasha Tonte, misalnya, mengeksplorasi tema konservasi satwa dalam instalasi Pintu Besar, yang menampilkan pantat Yaki—kera endemik Sulawesi—dengan dua lubang anus. Lewat instalasi ini, Natasha mengkritik konflik antara manusia dan satwa liar yang semakin mempercepat kepunahan spesies tersebut. Sementara itu, Zigovina Rizki membawa cerita anak kembali ke akar historisnya sebagai medium perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, bukan sekadar kisah manis ala Disney.
Kedua seniman ini tidak memamerkan karyanya di ruang-ruang yang dikontrol pemerintah seperti Galeri Nasional, tetapi di institusi seni independen seperti Museum MACAN dan penerbit swasta. Artinya, meski negara terus berupaya mengendalikan seni, kreativitas tetap menemukan jalannya sendiri.
Jika pemerintah tak bisa menyediakan ruang ekspresi bagi seni, setidaknya biarkan para seniman bebas mengeksplorasi ide-ide mereka. Sebab, seni bukan hanya tentang keindahan, tetapi juga tentang kebebasan. Ketika politik membelenggu, seni justru menjadi jalan pembebasan. (XRQ)
Penulis: Akil