NUKILAN.id | Feature – Di antara deru pohon yang menjulang dan aliran sungai yang meliuk seperti ular perak, Ekosistem Leuser berdiri sebagai benteng kehidupan di jantung Sumatra. Hutan ini bukan sekadar hamparan hijau di peta. Ia adalah dunia magis, tempat suara burung rangkong menggema di bawah kanopi yang rapat, dan daun-daun jatuh seperti bisikan rahasia alam. Di dalam kedalaman ini, makhluk luar biasa bernama orangutan Sumatra mengayunkan tubuhnya di antara dahan-dahan tinggi, menjadi simbol dari keajaiban yang tak tertandingi.
Perjalanan menuju Ekosistem Leuser adalah seperti menembus gerbang ke masa lalu. Dari desa-desa kecil di kaki gunung, jalan tanah merah mengular, membawa siapa pun yang cukup berani meninggalkan hiruk-pikuk peradaban menuju dunia yang serba alami. Semakin dalam melangkah, semakin kabur garis antara manusia dan alam.
Pagi itu, dengan langkah berat namun penuh semangat, aku memulai petualangan ini. Udara pagi terasa seperti embun yang baru saja lahir. Cahaya matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola yang terus berubah di atas tanah. Panduan kami, seorang pria tua bernama Pak Joko, berjalan di depan dengan langkah mantap. Ia membawa parang di pinggangnya, lebih sebagai simbol pengalaman daripada senjata.
“Di sini, hutan bicara, kalau kita mau mendengar,” katanya, suara baritonnya hampir seperti gumaman hutan itu sendiri.
Jejak Orangutan: Pertemuan Pertama
Sebelum matahari mencapai puncaknya, kami berhenti di sebuah bukit kecil. Di sana, di kejauhan, bayangan jingga kemerahan terlihat di antara dedaunan. Orangutan. Tubuhnya besar dan lincah, bergerak dari satu dahan ke dahan lain seperti penari yang melayang di udara.
“Lihat itu,” bisik Pak Joko, menunjuk ke arah pohon yang lebih rendah. Seekor orangutan betina bergelayut dengan bayi di lengannya, pelan-pelan bergerak mendekati pohon rambutan liar. Setiap gerakan mereka tampak seperti puisi visual, perlahan namun penuh makna.
Aku terdiam, memandang makhluk itu dengan rasa takjub yang hampir seperti doa. Kulitnya jingga keemasan, bercahaya dalam sinar matahari yang menembus celah dedaunan. Tatapan matanya, meski dari jauh, memancarkan kecerdasan yang nyaris manusiawi. Di sinilah, di tengah kedalaman hutan ini, aku merasa seperti seorang tamu kecil di dunia yang jauh lebih besar dan lebih tua dari yang pernah kubayangkan.
Pak Joko bercerita bahwa orangutan Sumatra adalah salah satu spesies paling terancam punah di dunia. Ancaman dari deforestasi dan perburuan telah membuat mereka hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Tapi di Ekosistem Leuser, mereka masih memiliki rumah—sebuah oasis terakhir bagi kehidupan liar yang membutuhkan perlindungan.
Harmoni Kehidupan yang Rumit
Ekosistem Leuser bukan hanya tentang orangutan. Ia adalah simfoni yang dimainkan oleh ribuan spesies, dari badak bercula dua yang jarang terlihat hingga harimau Sumatra yang gerakannya seperti bayangan.

Ketika kami melanjutkan perjalanan, Pak Joko menunjukkan berbagai tanda kehidupan yang tersembunyi. Ada bekas cakaran di batang pohon, jejak kaki kecil di lumpur, dan sarang lebah yang menggantung di dahan tinggi. Semua ini adalah bukti kehidupan yang terus bergerak, meski tak selalu terlihat oleh mata manusia.
“Hutan ini seperti tubuh,” ujar Pak Joko sambil menyentuh batang pohon besar yang akarnya mencengkeram tanah seperti tangan. “Jika satu bagian rusak, semuanya akan terasa.”
Ia menjelaskan bagaimana pohon-pohon besar menyediakan tempat tinggal bagi burung dan primata, sementara tumbuhan di bawahnya menjadi sumber makanan bagi herbivora. Sungai yang mengalir melalui hutan ini membawa air tidak hanya untuk binatang, tetapi juga untuk manusia di desa-desa sekitar. Segalanya terhubung, seperti jaring rumit yang saling menopang.
Di Tengah Kesunyian: Pertemuan yang Mendalam
Di suatu sore yang tenang, kami tiba di tepi sebuah sungai kecil. Suara aliran air dan nyanyian burung menciptakan latar belakang yang damai. Aku duduk di atas batu besar, merasakan dinginnya udara yang naik dari sungai.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak di seberang sungai, muncul sosok orangutan jantan dewasa. Ia besar, dengan pipi lebar yang menandakan usianya. Ia duduk di dahan yang rendah, mengawasi kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Waktu terasa melambat. Aku menahan napas, takut suara sekecil apa pun akan mengusirnya. Kami saling memandang, aku dan makhluk yang, meskipun sangat berbeda, terasa begitu akrab. Dalam tatapannya, ada kebijaksanaan yang hanya dimiliki oleh makhluk yang hidup dekat dengan alam selama ratusan ribu tahun.
Pak Joko berbisik pelan, “Ia tahu kita di sini. Tapi jangan khawatir, ia tidak merasa terancam.”
Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, orangutan itu perlahan menghilang di antara pepohonan. Meninggalkan kami dalam hening yang penuh rasa syukur.
Bayang-Bayang Ancaman
Namun, keindahan ini tidak tanpa ancaman. Pak Joko, dengan nada sedih, bercerita tentang pembalakan liar dan alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. “Hutan ini kuat, tapi tidak tak terkalahkan,” katanya.
Banyak bagian Ekosistem Leuser yang telah berubah menjadi ladang kosong, kehilangan nyawanya. Rumah bagi ribuan spesies kini hanya tinggal kenangan. Orangutan, yang membutuhkan area luas untuk bertahan hidup, sering kali terjebak di sisa-sisa hutan yang terfragmentasi.
“Tapi masih ada harapan,” tambahnya, dengan senyum kecil. Ia bercerita tentang upaya masyarakat lokal dan organisasi lingkungan yang bekerja keras untuk melindungi hutan ini. Mereka menjaga, menanam kembali, dan mendidik generasi muda tentang pentingnya melestarikan alam.
Pulang dengan Pelajaran Hidup
Ketika perjalanan ini berakhir, aku merasa seperti membawa pulang sesuatu yang lebih dari sekadar cerita. Ada pelajaran mendalam tentang harmoni dan keseimbangan, tentang bagaimana manusia hanyalah satu bagian kecil dari jaringan kehidupan yang jauh lebih besar.
Ekosistem Leuser adalah pengingat akan keajaiban dunia yang sering kali kita lupakan. Di dalam kedalaman hutan ini, kehidupan terus berdenyut, meski menghadapi ancaman yang tak kunjung reda. Orangutan, dengan gerakan lincah dan tatapan cerdasnya, menjadi simbol dari harapan bahwa alam, jika diberi kesempatan, dapat bertahan dan pulih.
Di tengah malam yang sunyi, aku kembali membayangkan tatapan orangutan jantan itu. Ia seolah berkata, “Jagalah dunia ini, karena kami dan kamu adalah bagian darinya.”
Dan begitulah, Ekosistem Leuser tidak hanya meninggalkan kesan di hatiku, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Sebuah janji untuk menghormati, melindungi, dan belajar dari keajaiban yang tersembunyi di hutan ini.