Kasus Pembunuhan Gajah, Kuasa Hukum: Putusan Majelis Hakim PN Aceh Jaya Tidak Adil

Share

Nukilan.id – Kuasa Hukum 9 dari 11 terdakwa kasus pembunuhan Gajah di Aceh Jaya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum – Advokasi dan Keadilan Aceh (YLBH-AKA) Hamdani Mustika mengaku keberatan atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Calang terhadap hasil putusan hukuman terhadap kliennya.

“Kami rasa tidak adil, Putusan terhadap seluruh klien kami,” kata Hamdani dalam keterangannya kepada Nukilan.id Sabtu (29/1/2022).

Kata Hamdani, ada beberapa faktor yang menurutnya tidak adil diantaranya;

Faktor pertama, 3 orang dari 9 kliennya hanya bertugas membantu menarik gajah yang mati di atas jalan perkebunan. Lalu Kliennya hanya menggeserkan gajah (bangkai gajah) tersebut dari jalan dengan jarak 10 meter.

Dalam hal itu, mereka di hukum 10 bulan terhadap 3 orang, atas nama Hamdani Tahir, Hamdani Ilyas dan Supriyadi” ujarnya.

Faktor kedua, Hamdani mempertanyakan, mulai terbentuknya Desa Tuwi Priya Kecamatan Pasie Raya sampai sekarang itu tidak pernah adanya sosialisasi, edukasi atau pun kampaye publik terhadap masyarakat setempat bahwa tidak boleh membunuh gajah atau satwa – satwa lain yang dilindungi.

“Itu terbukti dalam fakta persidangan yang di sampaikan oleh kepala seksi wilayah II BKSDA Aceh, itu juga dibenarkan atau pun kita kompes sekali lagi bahwa mantan Keuchik (Kepala Desa) atas nama tengku Zainal Abidin pun juga mengatakan juga tidak pernah ada kegiatan itu” jelas Hamdani.

Ia mengungkapkan, faktor selanjutnya yang namanya gajah, artinya sudah masuk menjadi satwa yang dilindungi oleh negara dan itu milik negara, ketika masyarakat mengalami kerugian terhadap amukan gajah dan kelakuan gajah, tidak ada konpensasi oleh negara, tapi ketika gajahnya mati, negara ngotot untuk di hukum.

“Jika kita rujuk kepada azas hukum pidana, membiarkan hewan yang menjadi tanggung jawab itu pun bisa kita laporkan menjadi kasus pidana dengan delik pembiaran” terangnya.

Hamdani menganalogikan, ada seorang memelihara ternak kambing atau kerbau, atau lembu, tidak di jaga. Tiba – tiba dia ( ternak ) main (berkeliaran) di jalan yang pada tempatnya. Seperti di tempat umum atau tempat orang. Tiba – tiba ditabrak sama mobil, mati atau rusak mobil orang. Kemudian yang punya lembu ini meminta tanggung jawab kepada pemilik kendaraan untuk ganti rugi.

“Wajarkah itu? ini analoginya. Karena itu memang itu milik negara. Seharusnya ada preventif (tindak pencegahan agar tidak terjadi hal buruk) yang dilakukan, pencegahannya apa? pernah tidak adanya sosialisasi kesana (Desa Tuwi Priya). Pernah tidak memberikan selembar spanduk kesana untuk di edukasi kepada masyarakat. ini tidak ada, hadir negara ketika gajah mati tapi negara tidak pernah hadir ketika masyarakat rugi” ungkapnya

Lanjut Hamdani, Faktor selanjutnya, jika berbicara tempat kejadian, itu hanya berjarak kurang lebih 1 kilometer dari kampung (desa), bukan di hutan.

“Nah, artinya kami merasa tidak ada pertimbangan di sisi faktor yang kami jelaskan tadi. tidak pernah dipertimbangkan itu, pada hal dalam fakta persidangan sudah terungkapkan semua, baik saksi yang dihadirkan oleh jaksa, mulai dari BKSDA, sampai saksi penangkap dan saksi mantan keuchik (kepala desa)” terang Hamdani.

Hamdani menegaskan, perlu di ketahui juga, dari 9 kliennya, 2 orang diantanya Sudirman dan Abdul Majid menyerahkan diri, bukan di tangkap. Namun kemudian seolah – olah matinya gajah tersebut kesalahan terletak pada masyarakat. Tetapi, bagaimana kemudian hadirnya negara dalam kontek jangan sampai dirugikan masyarakatnya.

“Sekarang negara harus memilih, pilih gajah atau pilih manusia (masyarakatnya). Yang dilakukan oleh klien kita bukan memburu. Hanya pada dasar konteknya adalah melindungi hartanya, salahkah itu? oh kemudian bicara tidak boleh dialiri arus listrik, ok solusinya apa? gak ada solusi lain” ujar Hamdani.

“Bukan kemudian kita membenarkan untuk membunuh tapi mens-rea (sikap batin jahat) atau niat klien kita itu terbukti dalam persidangan tidak niat untuk membunuh, hanya untuk mejaga kebun milik mereka” ucap Hamdani.

Dalam pasal 22 UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan ekositemnya, ada dikecualikan boleh membunuh apa bila mengancam nyawa. Dipenjelasan pasalnya pun juga mencatat, bukan hanya mengancam nyawa, merusak harta benda dan lainnya,” tuturnya.[]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News