NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali mencoreng wajah kemanusiaan di Aceh. Pada Selasa (20/5/2025) lalu, seorang pria diamankan pihak berwajib karena diduga mem3rk054 anak kandungnya sendiri. Peristiwa memilukan ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan rumah sendiri—tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman.
Menanggapi hal ini, media Nukilan.id menghubungi Kepala Sekolah HAM Perempuan, Gebrina Rezeki, untuk menggali pandangannya mengenai langkah-langkah strategis yang harus segera diambil pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam melindungi anak-anak, khususnya perempuan, dari ancaman kekerasan seksual.
Gebrina menekankan pentingnya penguatan regulasi yang berakar pada kearifan lokal dan hukum daerah.
“Pemerintah daerah dan lembaga terkait harus menguatkan regulasi turunan dari Qanun yang berfokus pada perlindungan anak,” ujarnya pada Jumat (23/5/2025).
Tak hanya sebatas regulasi, menurut Gebrina, struktur kelembagaan di tingkat akar rumput juga perlu diperkuat. Ia mendorong pembentukan sistem perlindungan anak yang responsif dan dekat dengan komunitas.
“Membentuk unit khusus penanganan kekerasan anak di setiap kecamatan, termasuk layanan konseling,” tambahnya.
Di sisi lain, Gebrina juga menyoroti pentingnya edukasi sejak dini. Ia menilai bahwa kurikulum pendidikan di sekolah harus mulai mengajarkan anak tentang seksualitas yang sehat dan kemampuan melindungi diri dari kekerasan.
“Mengintegrasikan pendidikan seksualitas sehat dan perlindungan diri dalam kurikulum sekolah,” tegasnya.
Ia meyakini bahwa pelibatan masyarakat merupakan elemen kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak.
“Melibatkan masyarakat secara aktif, terutama melalui kader-kader perempuan dan remaja untuk menjadi agen pelindung anak,” katanya.
Namun, menurutnya, kerja-kerja perlindungan anak tidak akan berjalan efektif tanpa adanya sinergi yang kuat antarinstansi.
“Meningkatkan koordinasi antarinstansi, agar respon terhadap kasus lebih cepat, terpadu, dan berpihak pada korban,” jelas Gebrina.
Dalam penutup wawancara, Gebrina menyoroti persoalan krusial yang kerap luput dari perhatian: anggaran. Ia menyayangkan bahwa selama ini alokasi dana lebih banyak difokuskan pada penanganan kasus daripada upaya pencegahan.
“Selama ini dana penanganan kasus KTPA itu lebih besar daripada pencegahan. Oleh karena itu, seharusnya pencegahan lebih dikuatkan, daripada penanganan,” tegasnya.
Baginya, negara tidak boleh hanya bereaksi setelah kejadian terjadi. Harus ada upaya mitigasi yang sistematis dan terencana untuk mencegah kasus kekerasan terhadap anak di masa depan.
“Jangan menunggu ada kasus baru ditangani, sebelum terjadi baiknya ada mitigasi-mitigasi yang dilakukan untuk KTPA,” pungkas Gebrina.
Kasus terbaru ini kembali menjadi pengingat bahwa perlindungan anak adalah kerja bersama yang tak boleh ditunda. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh elemen bangsa dituntut hadir sebelum tangisan anak kembali pecah karena luka yang seharusnya bisa dicegah. (xrq)
Reporter: Akil