Kartel Politik dan Matinya Oposisi di Tangan Megawati dan Prabowo

Share

NUKILAN.ID | OPINI – Di tengah kabut pekat politik nasional, aroma busuk pragmatisme kembali menyeruak. Rencana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bergabung dengan koalisi pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto bukan hanya mengejutkan, tetapi juga membangkitkan kecemasan mendalam tentang masa depan demokrasi Indonesia.

Dalam wacana demokrasi modern, oposisi adalah nadi yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Ia menjadi alat kontrol publik, penyeimbang dalam sistem trias politica. Namun, ketika partai oposisi terbesar—yang bahkan pernah menguasai eksekutif dan legislatif selama satu dekade—mulai tergiur untuk kembali ke lingkar kekuasaan, publik layak bertanya: di mana idealisme itu kini bersembunyi?

Pertemuan intens antara Prabowo dan Megawati Soekarnoputri dalam beberapa pekan terakhir menandai titik balik politik nasional. Kedua tokoh ini—dulu lawan keras, kini duduk di meja yang sama membicarakan kursi kekuasaan. Lebih ironis lagi, Prabowo bahkan dikabarkan menawarkan posisi menteri, serta tidak mengganggu jabatan strategis Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah di dua lembaga negara: BRIN dan BPIP.

Kalkulasi kekuasaan pun menjadi terang-terangan. PDIP disebut meminta Prabowo melepaskan pengaruh Joko Widodo dalam pemerintahannya kelak, serta mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang dianggap berpotensi mengganggu Kongres VI PDIP Agustus mendatang. Syarat lain yang mencuat adalah harapan vonis ringan bagi Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang kini menjadi terdakwa kasus suap dan perintangan penyidikan.

Politik, dalam kenyataan hari ini, telah menjadi transaksi penuh syarat dan tawar-menawar. Jika semua kesepakatan tercapai, tinggal menunggu waktu hingga PDIP resmi duduk di barisan partai pendukung pemerintahan Prabowo. Sebuah ironi mengingat setelah kekalahan Ganjar-Mahfud dalam Pilpres 2024, PDIP sempat mengumandangkan semangat menjadi oposisi. Namun, 10 tahun terbiasa menjadi penguasa membuat mereka tampak gelisah berada di luar lingkar istana.

Masuknya PDIP ke koalisi tak ubahnya membuka jalan terbentuknya kartel politik. Alih-alih menciptakan stabilitas, koalisi gemuk semacam ini justru berpotensi menumpulkan kritik, mengubur akuntabilitas, dan membuka ruang penyimpangan kekuasaan. Ketika oposisi dikooptasi, maka rakyat kehilangan pelindung terakhirnya dari kemungkinan tirani.

Kita tak boleh lupa. Koalisi besar pernah dibentuk Jokowi pada periode keduanya. Prabowo dan Gerindra ditarik masuk ke dalam pemerintahan, dengan dalih persatuan nasional. Hasilnya? Oposisi nyaris mati suri. Tanpa kontrol yang memadai, pemerintahan Jokowi leluasa melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memaksakan UU Cipta Kerja yang ditolak luas oleh masyarakat, dan membangun proyek-proyek mercusuar tanpa akuntabilitas memadai.

Kini, ancaman itu kembali mengintai. Megawati dan PDIP seolah lupa pada kerusakan politik yang mereka bantu ciptakan dengan menarik Gerindra ke dalam pemerintahan Jokowi. Narasi persatuan bangsa yang digadang-gadang tak lebih dari kedok untuk menutupi ambisi mempertahankan kekuasaan dan pengaruh.

Lebih mengkhawatirkan lagi, konsolidasi kekuasaan antara Megawati dan Prabowo akan semakin menyudutkan peran rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Pemerintahan tanpa oposisi sejatinya adalah bentuk awal dari otoritarianisme yang dibungkus demokrasi prosedural.

Masyarakat tak boleh terjebak pada romantisme sempit—bahwa dengan masuknya PDIP, Prabowo akan menyingkirkan pengaruh Jokowi dan keluarga politiknya. Tak ada jaminan itu terjadi. Prabowo lebih cenderung merangkul semua kekuatan demi memperbesar gerbongnya. Ia bukan menyingkirkan kawan, melainkan menyediakan ruang lebih besar agar semua bisa ikut menumpang.

Pada akhirnya, partai politik bukan lagi rumah ideologi dan gagasan. Ia telah menjelma menjadi persekutuan para elite yang sibuk mengatur siasat untuk saling mengamankan posisi. Sementara rakyat, yang seharusnya menjadi pusat kekuasaan demokratis, hanya ditinggalkan dalam comberan politik penuh intrik dan transaksi.

Kini, saatnya publik bersuara lantang. Demokrasi tak bisa diserahkan pada elit semata. Rakyat harus merebut kembali kendali, menolak koalisi tanpa batas, dan menuntut hadirnya oposisi yang kuat. Sebab tanpa itu, demokrasi Indonesia hanya akan menjadi panggung boneka yang dikendalikan segelintir juragan partai. Dan kita, hanya penonton bisu yang membayar mahal harga kekuasaan mereka. (XRQ)

Penulis: Akil (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News