Kapal di Atas Rumah, Simbol Harapan Dari Sebuah Tragedi dan Ikon Wisata

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Belum lekang dalam ingatan Fauziah, seorang warga Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, tentang bencana mengerikan yang terjadi di penghujung tahun 2004 silam. Ya, tak pernah terlintas dalam pikirannya wanita yang kini berusia 54 tahun itu akan merasakan langsung kedahsyatan gelombang stunami.

“Alhamdulillah, saya selamat setelah menaiki kapal itu,” ucap Fauziah saat media ini menyambanginya pada Sabtu, 2 November 2024 seraya menunjuk sebuah kapal besar yang teronggok di atas rumah warga.

Fauziah merupakan salah seorang dari 59 warga lainnya yang selamat setelah menaiki kapal boat itu. Bersama kapal tersebut, ia juga berhasil menyelamatkan salah satu anaknya yang saat itu masih berusia 2 bulan.

Fauziah membetulkan jilbabnya yang diterpa angin. Matanya nanar menatap ke arah kapal, seolah mengenang kembali detik demi detik momen yang dialaminya kala peristiwa itu terjadi.

Bencana yang merenggut ratusan nyawa manusia itu sangat membekas dalam memorinya. Ia ingat betul bagaimana digulung ombak stunami, lalu bertarung antara hidup dan mati untuk dapat mempertahankan hidup.

“Hanya dalam hitungan menit air laut menerjang kami. Saya hanya bisa pasrah setelah menaiki kapal itu. Kami pikir dunia telah kiamat. Yang bisa saya lakukan cuma berdoa dan tak berhenti mengucap asma Allah. Sementara kaum laki-laki tidak berhenti mengumandangkan azan,” kenang Fauziah.

“Saat air mulai surut, kami menyaksikan begitu banyak mayat yang bergelimpangan. Kami tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Kami baru berani turun ketika mulai senja,” tambah dia. Dalam kejadian itu, ia turut kehilangan suami dan ibunya.

Di ujung sana, sekelompok wisatawan domestik terlihat sibuk mengabadikan kapal itu melalui handphone nya masing-masing. Ada yang berselfi ria, ada pula yang berfoto bersama keluarga dengan latar situs stunami tersebut.

Kisah terdamparnya kapal boat kayu berukuran panjang 25 meter ini bukan hanya menyisakan cerita dan kenangan yang memilukan, namun juga tentang kejadian yang dinilai mistis oleh warga setempat.

Misalnya tentang kehadiran seorang pengemis yang hadir di sekitar situs kapal di atas rumah jelang terjadinya gempa. Pengalaman ini dialami tetangga Fauziah sesaat terjadinya bencana itu.

“Pengemis itu hanya meminta uang Rp 25. Ini aneh, soalnya dia hanya minta uang logam 25 perak itu. Kebetulan ada dan tetangga kami pun memberikannya. Selanjutnya, pengemis itu memperingatkan tetangga kami untuk berhati-hati karena akan ada peristiwa besar yang bakal terjadi. Gak lama kemudian, benar yang diucapkan pengemis itu,” ungkap Fauziah.

Objek yang menjadi saksi bisu keganasan stunami ini memiliki dua lantai yang dapat diakses oleh pengunjung. Untuk menuju lantai dua, terdapat semacam jalan setapak melingkar yang bisa dilalui pengunjung. Di sini, pengunjung dapat menyaksikan keadaan sekitar dari atas.

Di lantai pertama, pengunjung dapat melihat sejumlah informasi terkait kapal tersebut berikut ringkasan kronologi yang terjadi pada hari kejadian. Juga terdapat sejumlah nama-nama warga setempat yang menjadi korban bencana tsunami 2004 lalu.

Sedangkan di lantai kedua, wisatawan akan dapat membayangkan kengerian yang terjadi kala itu, serta upaya pemulihan Kota Banda Aceh dengan suguhan sejumlah foto dalam galeri dokumentasi yang tersedia dengan apik.

Kini kapal tersebut telah menjadi situs stunami dan menjadi salah satu destinasi wisata andalan di Kota Banda Aceh. Selain warga lokal, banyak juga wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke tempat ini.

Selain destinasi wisata, kapal di atas rumah juga kerap dijadikan sebagai pusat studi bagi pelajar dan mahasiswa. Di lokasi ini mereka menggali sejarah dan belajar tentang mitigasi bencana.

“Kami disini dalam rangka belajar bang, mengerjakan tugas kuliah. Situs ini harus terus dijaga agar menjadi bahan referensi bagi generasi seperti saya bahwa Aceh pernah mengalami bencana tsunami,” tutur Wulan, seorang mahasiswi salah satu kampus di Banda Aceh.

Sejarah Kapal di Atas Rumah

Berdasarkan deskripsi singkat yang ditampilkan pada papan informasi, sebelum terjadinya gempa besar dan disusul gelombang stunami, kapal kayu tersebut berada di sungai krueng Aceh pada tempat docking kapal di Lampulo.

Malam sebelum kejadian, pengelola kapal, Hasri Yulian bersama Saiful Bahri (keduanya alamat Lhoknga, Aceh Besar) meminta kepada penjaga kapal, Adun, agar bersiap-siap menurunkan kapal tersebut ke sungai. Rencananya pada Minggu siang, 26 Desember 2024, kapal akan berlayar menuju Lhoknga untuk diisi jaring pukat. Hal ini sesuai dengan permintaan pemilik kapal T. Zulfikar setelah mendengar kabar dari adik iparnya yang juga pengurus kapal bahwa kapal telah diperbaiki.

Namun, Allah SWT berkehendak lain. Pagi itu, bumi berguncang hebat dan disusul gelombang stunami setinggi 10 meter menerjang kawasan tersebut. Kapal kayu yang sebelumnya masih berada di areal docking pun disapu serta terbawa ke pemukiman penduduk dan terdampar di atas rumah milik keluarga Pak Misbah/Ibu Abasiah.

Pada akhirnya, kapal yang memiliki lebar 5,5 meter dan berbobot 20 ton itu pula lah yang menyelamatkan Fauziah beserta puluhan warga lainnya.

“Saat kami menaiki kapal itu, kakak kandung ibu Abasiah sempat melihat seekor buaya besar dibawah kapal. Ia selamat setelah berlindung ke lantai dua rumahnya yang kebetulan berhadapan langsung dengan rumah kakaknya dan sempat mengingatkan kami akan keberadaan buaya di bawah kapal. Saat kami turun sore hari buaya tersebut tidak ada lagi,” beber Fauziah sekaligus menutup ceritanya.

Kapal tersebut kini telah berubah menjadi salah satu situs tsunami ikonik di Banda Aceh. Ia menjadi simbol kekuatan dan harapan, mengingatkan dunia akan dahsyatnya tsunami Aceh dan perjuangan warganya untuk bangkit kembali.

Penulis: Boim

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News