Kalkulasi Parpol Baru dan Lama di Jalan Politik Indonesia

Share

*Oleh: Aryos Nivada

Bila kita mencermati dinamika konstelasi politik nasional dengan kemunculan partai baru, bukanlah hal yang baru. Namun pertanyaannya apakah mereka mampu eksis, memberikan warna, dan mampu mengubah keadaan Indonesia menjadi lebih baik. Jika kita lihat dari berbagai pemberitaan media kekinian diantaranya parpol baru, meliputi Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (UKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Hijau Indonesia, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Selain itu, ada pula Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Demokrasi Rakyat Indonesia Sejahtera (PDRIS), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Nusantara, dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Partai dan Ruang Demokrasi

Banyak partai dibentuk layaknya padi dimusim hujan berbalut kepentingan atas nama demokrasi. Sisi positifnya maraknya partai baru hadir dapat dikatakan dinamika demokrasi di Indonesia sangat luar biasa, karena memberikan alternatif dan khasanah pada kondisi kekinian. Hal ini mengidentik yang membedakan dengan negara demokrasi dibelahan dunia lainnya. Patut difahami bahwa ruang – ruang berdemokrasi yang sangat terbuka di Indonesia membuat kemunculan parpol baru, akan tetapi ini menjadi tantangan serius bagi partai yang sudah eksis bertahan dari kekuasaan di parlemen maupun diposisi strategis lainnya.

Jangan dianggap enteng partai pendatang baru (newcomer party), mereka akan bertarung pada arena visi dan misi memajukan Indonesia, serta memberdayakan segala sumber. Siapa yang lihai mendesain strategi dan memiliki modalitas yang kuat, maka partai itu eksis di kekuasaan.

Terpenting partai lama harus menjadikan partai pendatang baru, perlu diwaspadai terutama terkait cara meraih suara melalui kelembagaan partainya. Manakala lalai karena dibutakan di zona nyaman kekuasaan, maka bisa dipastikan partai itu terpuruk secara eksistensinya. Hal itu linear secara logika politik rasional, ketika luput menjaga kemampuan pengelolaan kelembagaan partai, maka keberadaan partai akan sirna digeser partai pendatang baru. Cermin faktanya dilihat pada suara dan keterwakilan kursi di parlemen kelak.

Harapan Parpol Baru

Sementara itu strategi, infrastruktur maupun suprastruktur partai serta modalitas merupakan kunci bagi partai-partai untuk bisa bertahan dalam pentas perpolitikan di Indonesia melalui instrument demokrasi.

Untuk itu, keberadaan parpol baru ini sangat tergantung sejauh mana persiapan yang dilakukan. Apakah secara struktural mereka sudah mempersiapkan secara matang agar mesinnya hidup dan berjalan. Belum lagi hal terpenting yaitu dihadapi bagaimana kematangan finansial dari parpol tersebut. Tak kalah penting lainnya pengaruh daripada orang yang direkrut parpol, apakah secara sosok membawa pengaruh bagi partainya meraih dukungan pemilih di daerah (grass root). Hal itu sudah jadi rumus baku bagi partai meraih suara. Intinya adalah basis ketokohan memiliki signifikansi dalam meraih suara pemilih.

Keuntungan bagi parpol baru harus dianggap sebagai harapan dari masyarakat atas rekam jejak buruk (track record) dari parpol pendahulu. Kejelekan yang dimaksud antara lain adanya sejumlah parpol pendahulu yang memiliki rekam jejak buruk di mata konstituten. Seperti korupsi, janji politik yang tidak dipenuhi. biasanya penyakit dalam politik dimana-mana sama, yaitu mereka yang berkuasa gagal memberikan kepuasaan kepada para pemilih.

Harapan ini tentunya bisa menjadi sebuah modalitas bagi parpol baru meraih empati dan simpati kepada konstituten di akar rumput. Pasti jualan mereka”kami bukan partai seperti itu”, “kami akan buktikan, kalau kami berpihak kepada konsistuen”. Itu salah satu jualan secara marketing politik. Kata-kata lebih, jelas kami bukan menjadi rezim dari parpol pendahulu sehingga pantas kiranya menjadi harapan baru.

Namun perlu disadari pertarungan untuk dapat menjadi peserta pemilu tidaklah mudah Meski sudah mengantongi Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, parpol baru ini masih harus menyiapkan pengurus berikut kantor perwakilan dari pusat hingga daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Untuk bisa mengikuti pemilu, parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, serta memiliki kepengurusan 50 persen kecamatan. Juga memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.

Andaikata lolos menjadi peserta pemilu, parpol baru juga akan dihadapkan pada persoalan berat untuk lolos ke Senayan dan ikut dalam pemilu berikutnya. Bila Bercermin pada hasil Pemilu 2019, tidak ada satu pun Parpol baru yang lolos ke Senayan. Dari tujuh parpol peserta pemilu yang tak lolos ambang batas parlemen 4 persen, empat di antaranya merupakan parpol baru, antara lain Partai Perindo hanya mampu meraup 2,67 persen suara; Partai Berkarya memperoleh 2,09 persen; PSI meraih 1,89 persen; dan Partai Garuda hanya 0,50 persen. Bahkan, Parpol lama seperti Partai Hanura terdepak dari DPR pada Pemilu 2019. Nasib serupa juga dialami PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019, gagal menembus ambang batas parlemen. Demikian pula PKPI, belum sekali pun lolos ke Senayan dari Pemilu 1999 hingga 2019.

Pengalaman empat kali pemilu sejak 2004 menunjukkan bahwa partai yang bisa bertahan adalah yang mampu mengombinasikan tiga kekuatan yaitu ketokohan, basis organisasi, dan logistik yang cukup. Setiap partai perlu ketokohan yang cukup di tingkat nasional, dan memiliki kemampuan menarik tokoh-tokoh yang berpengaruh dan punya pengikut di tingkat daerah/dapil.

Akan tetapi dari sejumlah parpol baru yang ada, berdasarkan tracking media dan penelusuran informasi, terdapat sejumlah parpol baru yang memiliki peluang dan kans besar dalam Pemilu 2024. Diantaranya adalah Partai Gelora dan Masyumi.

Partai Gelora ini memiliki irisan kuat dengan PKS. Bisa dibilang Gelora mengusung varian baru dari politik yang dimainkan PKS selama ini. Mereka memiliki platform yang berbeda dengan PKS.

Partai Gelora mengusung platform arah baru sejarah Indonesia sebagai salah satu pemain utama kekuatan global. Intinya, menjadikan Indonesia kekuatan kelima dunia setelah Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), Rusia dan China. Partai ini juga mengusung narasi baru, yaitu menyerukan untuk mengakhiri pembelahan yang terjadi di masyarakat. Baik Pembelahan terjadi antara kelompok Islamis dan Nasionalis, antara kelompok tengah, kanan dan kiri.

Sedangkan Masyumi memiliki dasar sejarah yang kuat. Ada semacam kerinduan dari masyarakat secara emosional politik dengan Masyumi, terutama kalangan Islam. Hal inilah yang dimanfaatkan Masyumi sebagai modalitas politik. Meski demikian bukan berarti mereka langsung bisa meraup ceruk pemimpin muslim, bila dalam konteks lokal yang wilayahnya dominan muslim seperti Aceh, justru yang mendominasi adalah partai yang mengusung platform ke-Acehan dan nasionalisme.

Dalam konteks nasional, dari pemilu ke pemilu menunjukkan perolehan suara partai-partai Islam tidak sesuai target diharapkan, meski suara partai-partai Islam tersebut disatukan perolehan suara mereka masih di bawah perolehan suara partai nasionalis. Pemilu 1999 (36.8%), Pemilu 2004 (38.1%), Pemilu 2009 (29.16%.), Pemilu 2014 (31,2%, dan Pemilu 2019 (32%). Terlebih ketika dibandingkan dengan suara partai Islam ketika Pemilu 1955, maka perolehannya masih tetap dibawah suara Partai Masyumi dan Partai NU yang mencapai suara sebesar 43,7%.

Konteks Ke-Acehan

Bagaimana membaca dalam konteks politik kelokalan Aceh?, hal tersebut menjadi ancaman serius bagi partai pendatang baru. Sebab parpol baru belum tentu bisa menggusur eksistensi partai lokal yang sudah terlanjut mengakar di lever akar rumput Aceh. Eksistensi partai lokal menimbulkan keanomalian dalam kontestasi demokrasi Indonesia. Artinya bahwa keberadaan partai lokal membuat mau tidak mau parpol baru juga harus mengusung isu isu kelokalan – dalam hal ini nasionalisme Ke-Acehan yang memang harus dikedepankan guna meraih dukungan konstituten Aceh. Sedangkan cara kerja partai baru sangat sentralistik pada pengelolaan issue susah mandiri mengelola issue sendiri.

Magnet pusaran politik lokal Aceh, terdapat tiga hal yang perlu dipahami. Pertama, eksistensi partai nasional pendahulu. Kedua, eksistensi parlok yang memiliki basis konstituen loyal. Ketiga, manifestasi parpol baru sebagai antitesis dari parpol pendahulu. Jadi irisan dalam segitiga perpolitikan di Aceh itu harus dipahami dalam konteks mempengaruhi dan mewarnai perpolitikan di Aceh.

Dalam konteks seperti ini, harus dicamkan untuk membaca Aceh dalam konteks nasional maupun kelokalan. Masing-masing partai perlu melakukan diferinsiasi untuk menarik simpati konstituen. Semua tergantung bagaimana parpol baru mampu memainkan isu lokal juga menarik basis dukungan ketokohan di masyarakat. Minimal dua kebaruan yang harus ditawarkan bagi partai baru untuk bertahan dalam arus dinamika politik Indonesia. Yang paling utama, kebaruan dari segi kepemimpinan atau tokoh yang ada dalam parpol baru itu. Kedua, kebaruan dari segi narasi dan program.

Peluang partai baru adalah pada pemilih Indonesia yang sedikit sekali memiliki ikatan emosional psikologis dengan satu partai. Berdasarkan data LSI Januari 2021, hampir 90 persen masyarakat Indonesia tak merasa punya keterikatan dengan satu partai apapun. Artinya konstituen di Indonesia pada dasarnya masih cukup terbuka untuk menerima kehadiran partai baru dalam pemilu. Meski demikian, tentu tidak mudah dan menjadi tantangan bagi partai-partai baru untuk masuk ke lembaga legislatif, terutama di tingkat lokal yang kental dengan dinamika politik lokal.

Partai baru harapan baru, partai lama jaga kepercayaan dan berbuat terus. Maka sentuhlah hati pemilih di nasional maupun khususnya di Aceh, jika itu kena di hati nuraninya maka siapa pun partai akan bertahan sepanjang hadirnya negara ini. Harus ditegaskan di penutup tulisan keberadaan partai bukan memperjuangkan kepentingan kelompoknya, bukan memperkaya diri sendiri bagi elit partainya, tapi mereka hadir berbuat untuk bangsa dan negara ini menjadikan lebih baik di semua dimensi kehidupan rakyat. Buktikan pada perilaku, bukan sebatas wacana janji-janji politik tanpa nyata dirasakan rakyat Indonesia.

Penulis adalah Dosen FISIP USK, Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif

Sumber: Dialeksis.com

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News