Nukilan.id – Akademisi Usman Lamreung menilai, dalam beberapa hari ini eskalasi politik lokal Aceh diramaikan dengan mundurnya beberapa kader terbaik Partai Nasional Demokrat (NasDem) Aceh, setelah terjadinya perombakan pengurus internal, salah satunya diganti Sekretaris DPW, awalnya di isi oleh Nahrawi Nurdin alias Toke Awi, kemudian diganti dengan Muslim Aiyub, mantan kader Partai Amanat Nasional (PAN) dan hijrah ke partai Nasdem.
Menurutnya, Konflik internal Partai Nasdem menandakan bahwa dalam demokrasi ada oligarkhi, semua keputusan dalam penunjukan ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) khusus di Aceh di tunjuk oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), tentu dalam penunjukan tersebut bukan dilihat dari objektifitas kemampuan seorang kader, tapi lebih kepada syarat kepentingan kekuasaan, malah ironisnya bukan hanya seorang kader saja yang bisa menduduki pengurus inti, diluar kader partai tersebut juga bisa,” kata Usman Lamreung kepada Nukilan.id dalam keteranganya di Banda Aceh, Kamis (25/11/2021).
“Ini adalah sebuah kegagalan partai politik dalam melakukan pengkaderan dan rekrutmen politik, menyebabkan kader-kader partai yang pindah ke partai lain mendapat posisi empuk, akhirnya kader-kaderpun kecewa dan mundur,” ucapnya.
Ia mengatakan, ada empat Partai Nasional di Aceh yang sudah melakukan Musyawarah Daerah (Musda), dan keempat partai tersebut dari hasil Musda semuanya tidak dipilih, hanya merekomendasi nama, untuk ditentukan siapa yang ditunjuk oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik.
“Ini mendandakan kader Parnas di Aceh tidak ada lagi sosok tokoh, sudah mulai krisis kemimpinan, pada akhirnya Dewan Pimpinan Wilayah yang ditunjuk oleh DPP, bukan lagi tokoh partai yang ada di Aceh, namun para tokoh Aceh yang selama ini berada di Jakarta, dan bernaung politik disana. Artinya sebagian Parnas di Aceh dikendalikan dari Jakarta, dengan begitu, Aceh sudah menjadi genggaman para elit politik Aceh di Jakarta,” ungkap Usman.
Dengan demikian, kata peneliti Emirates Development Research (EDR) ini, partai politik semakin elitis, oligarkhi, dan semakin jauh dengan kader serta masyrakat, dikarenakan kader yang ditunjuk hanya tokoh-tokoh dalam lingkaran yang sama, pindah partai dan sudah terbukti belum mampu membawa Aceh lebih baik.
Lanjutnya, Aceh saat ini krisis ketokohan didalam Partai, tidak ada lagi kader terbaik yang mampu merangkul dan mempersatukan para kader, sehingga acap kali menuai berbagai masalah di internal partai. Bila partai terus disibukkan dengan berbagai urusan internal, bagaimana memperjuangkan hak-hak rakyat dan aspirasi untuk kesejahteraan masyarakat.
Seharusnya partai politik memberikan contoh yang baik kepada Masyarakat, bagaimana berdemokrasi dengan baik, dan merangkul kader-kader partai. Bagaimana mengajak rakyat berdemokrasi dengan baik, menjunjung tinggi perbedaan pendapat.
Partai politik yang seharusnya mengajarkan pada rakyat pendidikan politik dan berdemokrasi dengan baik, ini malah partai politik mengajarkan cara berdemokrasi yang tidak baik,”sangat oligarkhi dan feodal,”tuturnya.[Jr]