Judi Online dan Cemooh Terhadap Penegakan Hukum

Share

NUKILAN.id | Opini – Di tengah gegap gempita kampanye pemberantasan judi online, publik justru disuguhi ironi: aparat penegak hukum tampak setengah hati, bahkan seolah enggan menyentuh akar persoalan. Yang ditangkap hanya pemain kelas teri dan bandar ecek-ecek, sementara para bos besar dan pelindung mereka dari kalangan elite politik serta aparat keamanan tetap melenggang bebas.

Penjelasan polisi yang kerap mengelak dengan dalih server judi online berada di luar negeri tak lebih dari alasan usang yang mencerminkan kemalasan, atau bahkan potensi keterlibatan. Jika penegakan hukum tunduk pada batas geografis, maka kejahatan transnasional seperti narkotika dan terorisme pun seharusnya tak bisa ditangani. Namun faktanya, aparat bisa sigap bila ingin dan bersungguh-sungguh. Mengapa berbeda dalam hal perjudian?

Kisah tentang aliran uang dari bandar judi ke aparat bukanlah isapan jempol. Kasus Irjen Ferdy Sambo membuka tabir tentang apa yang disebut sebagai “Konsorsium 303” — jaringan gelap yang diduga menjadi jalur setoran dari para pengusaha judi ke aparat dan elit tertentu. Angka 303 sendiri merujuk pada pasal KUHP tentang perjudian. Dalam konteks ini, judi online bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan disalahgunakan dan hukum dilecehkan.

Yang lebih mencemaskan, ada indikasi bahwa dana haram dari judi online turut digunakan untuk mendanai aktivitas politik, termasuk kampanye pemilihan umum 2024. Jika benar, ini bukan lagi sekadar kejahatan biasa, melainkan ancaman serius terhadap demokrasi. Keterlibatan politikus dalam struktur perusahaan pengelola judi menjadi sinyal kuat bahwa permainan kotor ini dilindungi oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi.

Sementara itu, laporan investigasi dari Tempo menunjukkan bahwa kota-kota judi seperti Sihanoukville dan Poipet di Kamboja telah menjadi markas operasi para pengusaha judi asal Indonesia. Melalui situs daring yang diinduk ke kasino-kasino ini, perjudian lintas batas menyasar masyarakat Indonesia secara masif. Para pekerja bahkan direkrut dari Indonesia, menciptakan potensi perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja.

Sayangnya, respons aparat terhadap laporan masyarakat soal judi online cenderung mengecewakan. Alih-alih menindaklanjuti dengan penyelidikan, polisi justru meminta barang bukti lengkap dari pelapor. Padahal, laporan awal, investigasi media, dan analisis digital bisa menjadi petunjuk awal untuk membuka kasus. Ketika sikap ini berlangsung terus-menerus, publik tak bisa tidak curiga bahwa ada yang sedang dilindungi.

Penelusuran aliran dana digital, yang hari ini bisa dilakukan dengan teknologi canggih, menjadi langkah strategis dalam membongkar jaringan judi online. Namun, tanpa kemauan politik dan keberanian untuk menindak siapa pun—termasuk mereka yang bercokol di elite kekuasaan—maka upaya ini hanya akan menjadi drama sandiwara penegakan hukum.

Kementerian Komunikasi dan Informatika pun tak luput dari sorotan. Tugas mereka menyaring dan memblokir akses ke situs-situs judi daring tampaknya hanya dijalankan secara sporadis. Setelah lebih dari sepuluh pegawai kementerian ditangkap karena diduga menerima bayaran dari pengelola situs judi, kepercayaan publik makin terkikis. Sekitar seribu situs diketahui rutin membayar agar leluasa beroperasi. Maka tak heran, promosi judi online tetap berseliweran di media sosial tanpa pengawasan ketat.

Kondisi ini menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Prabowo Subianto yang acap beretorika tentang nasionalisme dan kesejahteraan rakyat. Judi online telah mengalirkan uang triliunan rupiah ke luar negeri—sebuah kebocoran besar yang ironisnya dikeluhkan oleh Prabowo sendiri sejak lama. Pada 2024 saja, sebanyak Rp51 triliun uang rakyat Indonesia mengalir ke rekening penyedia judi online. Ini bukan angka remeh.

Dampaknya nyata. Judi menyebabkan kemiskinan, dan kemiskinan mendorong kriminalitas. Sejumlah studi menunjukkan korelasi kuat antara keduanya. Saat rumah tangga kehilangan penghasilan karena kepala keluarganya kecanduan judi, maka efek domino pun terjadi: anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga meningkat, dan masyarakat terjebak dalam lingkaran keterpurukan.

Kini bukan saatnya lagi bagi aparat untuk banyak cingcong. Penegakan hukum tak boleh pilih kasih. Pemerintah harus menunjukkan keberanian politik untuk menindak tegas para bandar, pelindung, dan pelaku di balik industri judi online, betapapun tinggi jabatan dan elitnya posisi mereka. Jika tidak, maka pemberantasan judi hanya akan menjadi panggung sandiwara—dan keadilan tak lebih dari ilusi belaka. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News